Ternyata berita itu
merupakan “penutup” kisah Negara Tarumanegara. Berita sejarah selanjutnya baik
dari cina maupun dari pihak lain, tidak pernah lagi menyebut Negara atau daerah
yang bernama T’o-lo-mo atau Tarumanegara, atau nama apapun.
Berdasarkan sumber yang
ada hingga saat ini, keadaan masyarakat pada masa Tarumanegara lebih mungkin
diperikan. Berdasarkan bukti dan sumber itu, dapat diduga bagaimana kira-kira
mata pencaharian penduduk pada masa itu. Jika dugaan mengenai barang dagangan
yang berasal dari daerah Ho-ling dapat diterima, diperoleh gambaran bahwa pada
masa itu perburuan, pertambangan, perikanan dan peniagaan, termasuk mata
pencaharian penduduk, di samping pertanian, pelayaran, dan peternakan.
Berita mengenai
perburuan diperoleh dari berita tentang adanya cula badak dan daging gajah yang
diperdagangkan, padahal, kita tahu bahwa badak dan gajah adalah binatang liar,
dan untuk mendapatkan cula dan gadingnya, terlebih dulu harus dilakukan
perburuan. Sumber-sumber sekunder berupa historigrafi tradisional, Tambo
Tulangbawang menyebutkan bahwa Mang Wang, Maharaja Bulugading (Tiongkok)
memesan cula badak putih dari medanggili, yaitu sebutan untuk Banten, yang
biasa dipakai oleh orang-orang pada zaman Hindu, hingga abad ke 13, dan cula
badak itu bias didapatkan di ujung Wahanten (Jungkulan) (Roejan, 1954:5).
Sumber ekonomi lainnya
yaitu bidang perikanan dapat disimpulkan dari berita tentang kulit penyu yang
termasuk barang dagangan yang di gemari paraniagawan cina. Kemungkinan mengenai
adanya pertambangan diperoleh dari berita tentang diperdagangkannya emas dan
perak sebagai haris daerah itu. Apakah mungkin ini ada kaitannya dengan sebutan
“Negara Perak” atau salakanagara? Karena semuanya disebutka sebagai barang
dagangan, berarti bahwa perniagaan dengan demikian juga salah satu mata
pencaharian penduduk.
Berita-berita cina
menyebutkan adanya utusan dari To’lomo, yang tentu dating ke cina dengan
berlayar. Ini membuktikan bahwa kemampuan penduduk Tarumanegara di bidang
pelayaran tidak usah disangsikan. Bukan tak mungkin penduduk Banten ikut dalam
pelayaran itu mengingat keterampilan penduduknya dibidang pelayaran itu.
Berdasarkan penemuan purbakala dimanapun, dapat dipastikan bahwa perhubungan
yang paling tua umurnya dilakukan melalui darat dan air (Clark, 1960:211).
Masyarakat yang lebih sederhana melakukan perhubungan jauh lebih sedikit
dibandingkan dengan masyarakat yang lebih maju. Hal itu dilakukan hanya dalam
kesempatan tertentu8. Dengan terjadinya perkemvangan budaya, baik melalui
penciptaan maupun melalui penemuan, terutama sebagai akibat sentuh budaya,
keinginan untuk melakukan perhubungan dengan pihak lain pun kian bertambah.
Berdasarkan data yang
ada, hanya diketahui Aksara Pallawa dan bahasa sansekerta yang dikenal pada
masa Tarumanegara. Namun, menurut berita cina bahasa K’un-lun digunakan baik di
Jawa maupun di Sumatera. Itu berarti bahwa K’un-lun adalah nama namun untuk
menyebut bahasa yang digunakan diberbagai tempat di Nusantara, yaitu sebuah
bahasa Nusantara yang sudah bercampur dengan unsure bahasa Sansekerta, terutama
dalam hal kosakatanya (Groeneveldt, 1879:13).
Para arkeolog juga
telah menemukan patung Ganesha, patung Siwa, dan lingga semu/lingga patok di
lereng gunung raksa, Pulau Panaitan, yang dapat menjadi bukti awal bahwa pada
abad ke-7, disana masyarakatnya beragama Hindu, Dari penelitian Geologis, Pulau
Panaitan diperkirakan sudah ada sejak 26 juta tahun yang lalu.
KESINAMBUNGAN BUDAYA
PRA-SEJARAH PADA MASA HINDU-BUDHA DI BANTEN
Ketika turun tirai
kehidupan nirleka d wilayah Banten, menyusul kemudian tumbuhnya tata-kehidupan
yang mendapat pengaruh anasir-anasir budaya Hinduistikdari India, wilayah
Banten telah eksis di panggung sejarah dan tetap memainkan peran sejarahnya
dalam dimensi ruang dan budaya. Masa-masa awal berkembangnya anasir-anasir
Hinduistik di wilayah Banten, sama halnya dengan bentang waktu kehidupan masa
prasejarah, masih belum tergali secara tuntas dan dalam eksplanasi yang belum
menyeluruh. Pengungkapan periode awal berkembangnya Hinduisme di wilayah Banten
belum banyak didasarkan pada fakta-fakta arkeologis, meskipun beberapa di
antaranya memiliki signifikansi hubungan dengan berbagai pusat politik, seperti
Tarumanegara dan pakuan Pajajaran. Salah satu usaha untuk menebus stagnasi
dalam rekonstruksi periode-periode ini, antara lain melalui kajian sumber
asing.
Tetapi karena kurangnya
data-data, kita belum dapat mengetahui papakah mereka pun sudah mengenal bentuk
kerajaan, yang pati mereka telah mengenal hunungan dengan luar negeri, terutama
dengan kerajaan-kerajaan di India dan Asia Tenggara (Ambary, 1977:447).
Bukti-bukti hal ini dapat dilihat dari ditemukannya bangunan berupa pundan
berundak di Lebak Sibedug, banten selatan, yang merupakan bangunan pengantar
antara bangunan prasejarah dengan candi berundak, seperti Borobudur, yang juga
terdapat di beberapa tempat di Asia (Michrob, 1988:4)
Berita yang paling
meyakinkan tentang hubungan Banten dengan Eropa, India dan cina adalah dengan
ditemukannya peta yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus. Peta ini dibuat pada
tahun 165 M. berdasarkan tulisan geograf Starbo (24-14 SM) dan Plinius (akhir
abad pertama masehi). Dalam peta ini digambarkan tentang jalur pelayaran dari
Eropa ke Cina dengan melalui: India, Vietnam, Ujung utara Sumatera, kemudian
menyusuri pantai barat Sumatera, Pulau Panaitan, Selat Sunda, terus melalui
Laut Tiongkok Selatan sampai ke Cina (Yogaswara, 1978:21-38).
Hal ini dimungkinkan
karena memang menurut penyelidikan Prof. Ir, Anwas Adiwilaga, di Pulau Panaitan
pada kira-kira tahun 130 M pernah berdiri satu kerajaan yang merupakan kerajaan
tertua di Jawa Barat. Kerajaan ini bernama Salakanagara (Negeri Perak) dengan
pusatnya di kota Rajatapura, yang terletak di pesisir barat Pandeglang. Raja
pertamanya bernama Dewawarman I (130-168 M). daerah kekuasaannya meliputi;
kerajaan agrabinta (di Pulau Panaitan), kerajaan Agnynusa (di Pulau Krakatau),
dan daerah ujung selatan Sumatera. Dengan demikian seluruh selat sunda dapat
dikuasai Dewawarman I ini, sehingga digelari Haji Raksa Gapurasagara (Raja
penguasa gerbang lautan) (Yogaswara, 1978:38). Dengan ditemukannya patung
Ganesha dan patung Siwa di lereng gunung Raksa, Pulau Panaitan, dapatlah diduga
bahwa masyarakatnya beragama Hindu Siwa.
Pulau Panaitan
merupakan pulau yang langsung berhubungan dengan selat sunda yang bernama pulau
Peucang, luasnya sekitar 17.500 Ha termasuk kawasan Pelestarian/suaka alam
Taman Nasional Ujung Kulon. Penelitian geologi di Pulau Panaitan, menunjukkan
bahwa pulai ini telah ada sejak 26 juta tahun lalu, apabila dilihat dari umur
batuan yang paling tua. Pada berbagai singkapan, tampak bahwa pulau ini
tersusun dari jenis-jenis batuan andezite, tuffa, gamping dan yang termuda
batuan alluvial.
Data arkeologi dari
Pulau Panaitan berupa arca siwa, Ganesha dan Lingga semu/Lingga patok. Arca
siwa dari Panaitan pernah raib dicuri, namun kemudian arca tersebut dapat
diamankan dan sekarang disimpan di Museum Negeri Sri Badhuga, Bandung, dengan
nomor Inventaris 306.2981. Arca ini berukuran tinggi 76,5 cm, lebar dan tebal
maksimum 32,5 cm dan 24 cm, dibuat dari batuan andezitik.
Arca siwa ini sering
dikatakan berbentuk static dan sederhana, tidak sama dengan penggambaran Dewa
Siwa pada umumnya. Hal ini dari arca ini ialah tangan belakang yang memegang
trisula dipahat langsung pada sandaran arca di belakang kepala. Kedua tangan
bagian depan bersikap varadamudra dan memegang padma memakai selempang pola
pita lebar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar