MEMBANGUN OPINI CERDAS
Dunia
kita adalah persepsi kita. Dunia adalah dunia sebagaimana kita mempersepsinya.
Itulah argumen yang diajukan oleh George Berkeley lebih dari dua ratus tahun
silam. Sikap kita terhadap orang lain dan dunia sebagai keseluruhan amat
tergantung dari persepsi yang bercokol di kepala kita.
Seringkali,
persepsi yang ada di kepala kita tidak cocok dengan kenyataan yang sebenarnya.
Persepsi yang salah inilah yang melahirkan konflik dan berbagai ketegangan di
dalam hidup manusia, baik pada tingkat pribadi maupun sosial. Orang yang
merasa, bahwa persepsinya adalah kebenaran mutlak dan sesuai 100 persen dengan
kenyataan, adalah orang yang hidup dalam delusi. Teori-teori Marxis menyebutnya
sebagai ideologi, yakni kesadaran palsu tentang dunia.
Orang
yang hidup dalam ideologi berarti hidup dalam kepompong kebohongan. Semua
pendapat dan pikirannya lahir dari ideologi sesat yang bercokol di kepalanya.
Tak heran, semua analisis dan pendapatnya begitu dangkal, karena hanya
mengikuti saja kesesatan berpikir sehari-hari yang ada di dalam masyarakat
luas. Hidup orang ini dipenuhi prasangka dan kesesatan berpikir di dalam
melihat orang lain dan masyarakat sebagai keseluruhan.
Anatomi Persepsi
Bagaimana
persepsi manusia terbentuk? Darimana asal persepsi yang bercokol di kepala
kita? Salah satu jawaban lugas atas pertanyaan ini di dalam masyarakat jaringan
sosial sekarang ini adalah media massa. Kita melihat dunia kita dari kaca mata
media yang kita baca sehari-hari. Tak berlebihan jika dikatakan, kita adalah
apa yang kita baca.
Persepsi
kita juga dibentuk oleh pengalaman pribadi kita sebagai manusia. Perjumpaan
dengan orang lain mempengaruhi persepsi kita tentang orang itu. Namun, seperti
ditegaskan oleh Karl Popper, pengalaman tidak pernah lepas dari pemahaman.
Tidak ada pengalaman murni, karena semua bentuk pengalaman kita selalu
dibungkus oleh pra-paham yang sudah ada sebelumnya di kepala kita.
Banyak
orang tidak sadar dengan pra-paham yang bercokol di kepalanya. Akibatnya,
mereka mengira begitu saja, bahwa persepsinya adalah kebenaran, atau bahwa
persepsinya sesuai dengan kenyataan yang ada. Di dalam teori-teori Marxis,
pra-paham sesat yang tak disadari ini disebut juga sebagai hegemoni. Orang yang
hidup di dalam hegemoni terjebak di dalam kesesatan berpikir, walaupun ia sama
sekali tak menyadarinya.
Hegemoni
membuat pemahaman yang salah terlihat sebagai benar. Hegemoni membuat orang
dijajah, walaupun ia sama sekali tak merasa terjajah. Hegemoni itu adalah
teknik menipu tingkat global, namun tak pernah sungguh disadari sebagai
sebentuk penipuan. Siapa pencipta dan pelaku hegemoni ini?
Hegemoni Media
Media
massa sekarang ini adalah pencipta sekaligus pelestari hegemoni. Namun, media
massa sama sekali bukan institusi yang netral. Selalu ada kepentingan untuk
membangun dan melestarikan hegemoni di balik setiap pemberitaan yang ada.
Tujuannya jelas, yakni melestarikan keadaan sosial politik yang ada, yang
menguntungkan mereka, namun sejatinya justru merugikan banyak pihak lainnya. Dalam
arti ini, tak berlebihan jika dikatakan, media massa menjadi aktor sekaligus
alat untuk melakukan cuci otak di tingkat global. Ia memberitakan suatu
peristiwa selalu dari sudut pandang tertentu yang juga menutupi sudut pandang
lainnya. Pemberitaan menjadi persepsi, lalu persepsi mempengaruhi berbagai
bentuk kebijakan publik yang menentukan hidup mati banyak orang. Bahkan,
persepsi lalu mengental menjadi sejarah sekaligus ingatan kolektif yang menjadi
dasar bagi identitas sosial suatu kelompok.
Rasisme
dan beragam bentuk diskriminasi juga lahir dari persepsi yang dilumuri hegemoni
dan ideologi. Kita membenci seseorang, hanya karena ia memiliki warna kulit
berbeda. Seringkali, kita tidak mempunyai pengalaman pribadi langsung dengan
orang itu. Namun, pemberitaan media telah mencuci otak kita, sehingga kita
membangun persepsi yang salah hanya atas dasar pemberitaan itu.
Banyak
juga program politik yang dilahirkan dari persepsi yang salah semacam ini. Ada
segudang undang-undang di Indonesia yang lahir dari persepsi yang salah, mulai
dari soal rekonsiliasi terkait kejahatan masa lalu, impor beras, sampai
kebijakan bodoh terkait dengan keperawanan pelajar tingkat sekolah dasar. Pada
tingkat global sekarang ini, persepsi yang salah juga tampak di berbagai hal.
Satu bagian dunia berpesta pora dalam kemewahan, sementara banyak orang di
bagian dunia lain meninggal, karena tidak memiliki sumber air bersih yang
mencukupi.
Persepsi
yang lahir dari ideologi dan hegemoni ini menciptakan kebencian. Kebencian
tersebut akan melahirkan konflik dan beragam pengalaman buruk lainnya, yang
akhirnya juga memperkuat persepsi yang salah tersebut. Persepsi akhirnya
menjadi prasangka, mendorong kebencian, menciptakan konflik yang nantinya
memperkuat prasangka yang sudah ada sebelumnya. Inilah lingkaran setan kekerasan
yang lahir dari cuci otak yang dibuat oleh media.
Membangun Opini Cerdas
Bisakah kita melepaskan diri dari
persepsi? Bisakah kita melepaskan diri dari cuci otak yang dibuat media? Sampai
batas tertentu, jawabannya adalah positif: ya. Masalahnya bukanlah hidup tanpa
persepsi, melainkan membangun persepsi yang cerdas. Masalahnya bukanlah tidak
punya opini, tetapi merumuskan opini yang cerdas.
Bagaimana
merumuskan opini yang cerdas? Pertama, kita perlu melakukan kritik ideologi
terus menerus terhadap berbagai pikiran yang muncul di kepala kita. Kita perlu
yakin, bahwa pikiran kita tidak lahir dari kesadaran palsu, melainkan dari
kesesuaian dengan keadaan yang ada. Kritik ideologi juga perlu dilancarkan
terus menerus terhadap berita yang kita terima dari media massa sehari-harinya.
Sikap
kritis dan curiga sampai batas tertentu bisa dibenarkan disini. Informasi
adalah salah satu kebutuhan utama manusia sekarang ini. Namun, tidak semua
informasi yang ditampilkan media lahir dari kenyataan. Seringkali, informasi
tersebut lahir dari manipulasi, entah kebohongan atau pemberitaan satu pihak
yang justru menciptakan prasangka dan kesalahan persepsi di telinga pendengar
atau pembacanya.
Di
sisi lain, kita juga perlu mencari berita dari sumber-sumber lain yang independen.
Kantor media besar biasanya dimiliki oleh pengusaha bisnis tertentu yang ingin
mempertahankan kepentingan mereka. Kita masih ingat perang opini antara Metro
TV dan TV One, ketika pemilihan presiden 2014 yang lalu. Pola yang sama juga
dapat dilihat di kantor-kantor media internasional. Dalam beberapa hal,
blog-blog dari penulis independen bisa memberikan informasi yang lebih bermutu
kepada kita.
Sebagai
warga dari masyarakat demokratis, kita perlu mempunyai opini yang cerdas.
Artinya, kita tidak boleh jatuh begitu saja pada persepsi dan opini yang
disetir oleh media massa yang tak bertanggung jawab. Kita perlu melepaskan diri
dari prasangka yang bercokol di otak kita, karena serbuan berita-berita tak
bertanggungjawab. Kritik ideologi adalah kewajiban utama dari warga negara
demokratis, seperti Indonesia.
Bagaimana
membangun sikap kritis dan curiga yang sehat semacam ini? Jelas, pendidikan
memainkan peranan besar di sini. Namun, pendidikan tidak boleh hanya dimengerti
secara sempit sebagai pendidikan di sekolah, tetapi juga pendidikan di dalam
keluarga dan di dalam masyarakat. Masyarakat yang cerdas hanya bisa dibangun
oleh warga yang memiliki persepsi dan opini yang cerdas. Tidak ada jalan lain.
Wattimena, Reza. 2016. Tentang manusia, Dari pikiran, pemahaman,
sampai dengan perdamaian dunia. Yogyakarta: Maharasa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar