Agama
dan Kekerasan
Ada
pepatah Cina kuno yang mengatakan, ”Alat yang baik di tangan orang jahat akan
menjadi alat yang jahat.” Sebaik apapun ajaran suatu agama, jika dianut oleh
sekumpulan orang yang menderita dan tersesat, maka agama itu akan menjadi jahat
yang menghasilkan
penderitaan bagi banyak orang.
Pembunuhan
wartawan-wartawan Charlie Ebdo di Paris sungguh menggetarkan hati dunia.
Lagi-lagi, agama digunakan untuk membenarkan kekerasan. Sungguh menjijikan.
Peristiwa ini terangkai erat dengan pelbagai peristiwa kekerasan atas nama
agama lainnya, seperti ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah) yang terus melakukan
pembunuhan massal di Irak dan mengancam negara-negara di Timur Tengah lainnya.
Di
Nigeria, kelompok Islam ekstrimis Boko Haram juga melakukan pembunuhan massal.
Beberapa waktu lalu, kelompok Islam ekstrimis juga melakukan pembunuhan massal
terhadap anak-anak di Pakistan. Di Israel, agama Yahudi dijadikan dasar
sekaligus pembenaran untuk melakukan penindasan nyaris tanpa henti kepada Palestina.
Di Indonesia, diskriminasi terhadap agama minoritas nyaris menjadi makanan
sehari-hari.
Tak
jauh dari ingatan kita sebagai bangsa Indonesia, Kristianitas digunakan untuk
pembenaran bagi proses penjajahan Eropa atas seluruh dunia. Jutaan manusia
manusia dari berbagai belahan dunia mati dalam rentang waktu lebih dari 300
tahun, akibat peristiwa ini. Sumber daya alam dikeruk demi kekayaan
bangsa-bangsa Eropa. Beragam budaya dan cara hidup hancur di dalam proses
penjajahan yang juga memiliki motif Kristenisasi seluruh dunia itu.
Di
India, sebelum Natal 2014, sekitar 5000 keluarga diminta untuk memeluk kembali
Hinduisme. Mereka yang tidak mau mengubah
agama
diminta untuk keluar dari India. Sebagai bangsa, India juga terus dikepung oleh
konflik yang terkait dengan agama. Fenomena yang sama berulang kembali: agama
digunakan untuk membenarkan tindak kekerasan, guna membela kepentingan ekonomi
dan politik yang tersembunyi.
Mengapa
ini bisa terjadi? Mengapa peristiwa dengan pola semacam ini terus berulang?
Mengapa agama, yang konon mengajarkan kebaikan universal dalam hubungan dengan
yang transenden, terus menerus dipelintir untuk membenarkan tindakan biadab?
Mengapa hubungan agama dan kekerasan tidak juga bisa diputus? Mengapa kita
nyaris tidak belajar apapun dari pelbagai peristiwa biadab ini?
Berpikir
Dualistik
Akar
dari segala kejahatan dan kekerasan adalah pikiran. Semua tindakan dimulai dari
pikiran. Semua penilaian dan analisis mulai dari pikiran. Maka, kita pun harus
masuk ke ranah pikiran, guna membongkar akar kekerasan.
Pada
hemat saya, akar dari segala kejahatan adalah pola pikir dualistik. Apa itu?
Pola pikir dualistik selalu melihat dunia dalam dua kutub yang bertentangan,
yakni benar-salah, baik-buruk, suci-tidak suci, beriman-kafir, serta dosa-tidak
dosa. Dengan pembedaan ini, kita lalu terdorong selangkah lebih jauh untuk
melihat orang lain sebagai musuh (yang berdosa, kafir, salah, dan buruk) yang
harus dihancurkan.
Padahal,
jika ditelaah lebih dalam, pola berpikir dualistik pada dasarnya adalah salah.
Tidak ada dualisme. Dualisme hanya ada di dalam pikiran. Tidak ada perbedaan.
Perbedaan hanya tampilan kulit yang menutupi esensi yang sama dari segala hal.
Segala
bentuk kekerasan dan kejahatan bisa dilenyapkan, jika kita melepaskan pola
berpikir dualistik. Kita lalu melihat diri kita sendiri satu dan sama dengan
segala hal, termasuk dengan alam, hewan dan tumbuhan. Kita tidak lagi memiliki
dorongan untuk mencap atau
menyakiti
apapun atau siapapun, karena kita semua, sejatinya, adalah satu dan sama.
Bahkan, pada situasi yang paling ekstrem, kita lebih memilih untuk disakiti,
daripada menyakiti orang lain.
Dualistik
dan Kekerasan
Namun,
pola berpikir dualistik tidak otomatis langsung menciptakan kekerasan.
Setidaknya, saya melihat dua hal yang mendorong pola berpikir dualistik menjadi
kekerasan. Yang pertama adalah kesenjangan ekonomi yang besar antara orang kaya
dan orang miskin. Ketika sekelompok orang hidup dalam kemiskinan yang besar,
sementara mereka harus menyaksikan orang-orang kaya bergaya hidup mewah setiap
harinya, pola berpikir dualistik akan mendorong terciptanya tindakan kekerasan.
Yang
kedua adalah konflik masa lalu yang belum mengalami rekonsiliasi, dan menjadi dendam.
Ketika orang hidup dalam dendam, segala hal akan tampak jelek di matanya. Ia
akan bersikap jahat, sering-kali tanpa alasan. Maka, segala konflik di masa
lalu harus menjalani proses rekonsiliasi, supaya ia tidak berubah menjadi
trauma kolektif dan dendam yang mendorong terciptanya kekerasan.
Sebagai
manusia, kita perlu untuk memutus rantai pikiran yang memisahkan. Kita perlu
melihat dunia apa adanya, tanpa perbedaan. Kita perlu sadar, bahwa segalanya
adalah satu dan sama. Kita juga perlu sadar, bahwa kita semua hidup dalam
kesatuan jaringan yang tak bisa dipisahkan. Pola berpikir dualistik haruslah
dilampaui.
Di
sisi lain, kita juga harus berusaha membangun masyarakat tanpa kesenjangan
sosial. Tidak boleh ada kesenjangan antara si kaya dan si miskin. Semua harus
mendapat hak yang sama sebagai manusia yang bermartabat. Semua juga harus
diberikan kesempatan untuk membangun hidupnya secara bermartabat.
Berbagai
konflik di masa lalu juga harus diakui dan menjalani proses rekonsiliasi.
Rekonsiliasi disini terkait dengan upaya untuk
memperbaiki
hidup korban dari konflik di masa lalu. Ia juga terkait dengan mencari tahu,
apa yang menjadi akar dan pola konflik yang terjadi di masa lalu itu.
Rekonsiliasi akan mengurangi kemungkinan terjadinya konflik dengan pola yang
sama di masa depan.
Agama
dan Pengalaman Mistik
Setiap
agama berawal dari pengalaman mistik manusia. Pengalam-an mistik adalah
pengalaman kesatuan dengan sesuatu yang lebih tinggi dari manusia, entah itu
alam, roh, Tuhan, Allah dan sebagainya. Pengalaman mistik itu lalu dibagikan
kepada orang lain, lalu berkembang menjadi agama. Agama lalu menjadi bagian
dari cara hidup masyarakat tertentu.
Pengalaman
mistik adalah inti dari semua agama. Agama tanpa pengalaman mistik hanya
seperti organisasi biasa. Di dalam pengalaman mistik, orang melihat dirinya
sebagai bagian dari kesatuan dengan segalanya. Pengalaman ini lalu coba
disampaikan seturut dengan cara-cara kultural yang ia miliki.
Sejatinya,
pengalaman mistik tidak bisa dibagikan. Ia adalah pengalaman kesatuan dengan
segala hal, yakni pengalaman non-dual. Ketika dibagikan atau disampaikan kepada
orang lain, ia lalu berubah menjadi pengalaman dualistik dan pola pikir
dualistik. Pola pikir dualistik ditambah dengan berbagai masalah sosial lainnya
akan berujung pada kekerasan. Inilah mengapa agama-agama sekarang begitu mudah
dipelintir dan bahkan menjadi motif utama terjadinya kekerasan.
Dengan
pola berpikir dualistik, setiap agama menulis kitab suci dan merumuskan
teologinya masing-masing. Namun, kitab sucii dan teologi justru hanya
menciptakan jurang yang lebih dalam, baik di antara penganut agama tersebut,
maupun dengan penganut agama lainnya. Terciptalah kelompok-kelompok, seperti
kelompok pendosa, kelompok suci, kelompok kafir, kelompok taat, kelompok
progresif,
kelompok
konservatif dan sebagainya. Mereka lalu saling berperang satu sama lain. Inilah
hasil dari pola berpikir dualistik.
Maka
dari itu, agama-agama sekarang ini haruslah melihat kitab suci dan teologinya
masing-masing tidak sebagai kebenaran mutlak. Semuanya lahir dari pola berpikir
dualistik yang tidak sesuai dengan kenyataan dan kebenaran alamiah semesta.
Agama-agama harus kembali ke akarnya masing-masing, yakni pengalaman mistik.
Pengalaman mistik melampaui pola berpikir dualistik, dan masuk ke ranah tanpa
pembedaan.
Pola
berpikir mistik menghasilkan kedamaian hati. Kedamaian hati mendorong kedamaian
sosial. Para teolog dari berbagai agama berdebat dan bertengkar. Namun, para
mistikus dari berbagai agama berjumpa dalam diam, karena mereka tahu, mereka
semua satu dan sama. Jadi, agama-agama harus melihat tradisi, teologi dan kitab
sucinya masing-masing hanya sebagai alat, dan bukan tujuan pada dirinya
sendiri.
Ketika
agama kembali ke akarnya masing-masing, yakni pengalaman mistik kesatuan dengan
segalanya, maka dunia akan damai. Ketika agama tidak memutlakan
ajaran-ajarannya masing, dan melihat segalanya sebagai satu dan sama dalam
jaringan yang tak terpisahkan, maka akan tercipta kedamaian yang sejati. Agama
tanpa kekerasan hanya bisa dicapai dengan menyentuh pengalaman mistik kesatuan
batin manusia dengan semesta. Di ranah itu, kita tidak berjumpa dalam
perbedaan, melainkan dalam kesatuan.
Artinya,
kita berjumpa dalam cinta… cinta yang sejati.
Wattimena, Reza. 2016. Tentang manusia, Dari pikiran, pemahaman,
sampai dengan perdamaian dunia. Yogyakarta: Maharasa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar