Citra memang bukan realita. Namun, perannya tetaplah
penting, terutama di dunia digital yang sekarang ini mengepung hidup kita.
Citra
menentukan sikap orang lain pada kita. Citra juga mempengaruhi selera massa,
yang akhirnya berpengaruh langsung pada keberhasilan ekonomi seseorang, dan
bahkan satu negara.
Citra
merupakan abstraksi dari realita. Ia bukanlah realita itu sendiri. Citra
dibangun di atas sekumpulan informasi yang diperoleh dari sumber-sumber
tertentu. Sayangnya, informasi-informasi tersebut tidak sepenuhnya sesuai
kenyataan.
Citra
berpijak pada persepsi. Persepsi dibangun atas bayangan tentang realita.
Bayangan tersebut lalu menjadi semacam penuntun cara berpikir dan cara
bertindak yang tidak disadari. Orang menjalani hidupnya dengan berpijak pada
persepsinya atas kenyataan tersebut.
Realita
yang sesungguhnya, dalam konteks ini, berada di luar genggaman tangan kita. Ia
berada di luar dan melampaui persepsi. Pada titik ini, orang perlu berpikir
terbalik. Persepsi justru bertentangan dengan kenyataan. Jadi, anggapan yang
ada di kepala justru harus dilihat terbalik dari kenyataan yang ada.
Citra
dan Media
Darimana
persepsi muncul? Dari mana citra tercipta? Peran media amatlah besar dalam hal
ini, termasuk di dalamnya adalah koran, majalah, iklan, berita-berita di
internet serta gosip-gosip di blog pribadi maupun jaringan sosial. Cara pandang
kita atas dunia, perilaku kita serta selera kita dibangun oleh media-media
modern berukuran raksasa ini.
Ketika
media menyebarkan berita, bahwa kulit putih lebih baik dari kulit hitam, maka
kita pun lebih suka pada laki-laki atau perempuan berikulit putih, daripada
mereka yang berkulit hitam. Ketika media menyebarkan informasi, bahwa Eropa itu
indah, maka orang berbondong-bondong berwisata ke Eropa, walaupun dengan biaya
yang tidak masuk akal. Ketika media menyebarkan berita, bahwa pendidikan di
Amerika Serikat adalah yang terbaik di dunia, maka orang berbondong-bondong
sekolah disana, juga dengan biaya yang amat tinggi. Jadi, apa kata media,
itulah yang menjadi selera kita, dan akhirnya menuntun hampir semua tindakan
kita.
Padahal,
media tidaklah pernah netral. Media selalu merupakan corong dari kepentingan
pihak tertentu. Dalam banyak hal, media justru melestarikan keadaan sosial
tertentu yang tidak adil. Dengan kata lain, media kerap menjadi kaki tangan
para penguasa yang ingin menjaga kekuasaannya dengan cara-cara yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan.
Media
dan Realita
Media
menyebarkan info dan berita yang menguntungkan pihak tertentu. Dari pola
pemberitaan semacam ini, media lalu juga memperoleh keuntungan. Pola ini sudah
kita rasakan bersama, sewaktu Orde Baru di bawah Soeharto memerintah Indonesia.
Pemberitaan media dipelintir untuk membangun citra baik bagi pemerintah yang
berkuasa.
Dengan
pola ini, media juga merugikan kepentingan pihak lainnya. Media meminggirkan
kepentingan dan aspirasi dari kelompok tertentu di dalam masyarakat.
Kelompok-kelompok ini biasanya menjadi kambing hitam atas segala permasalahan
sosial yang ada di masyarakat. Mereka biasanya kaum minoritas yang tidak
mendapatkan pendidikan yang memadai, serta terjebak dalam kemiskinan.
Dengan
demikian, pemberitaan media bukanlah realita. Justru sebaliknya, kita kerap
perlu membaca berita-berita media secara terbalik, karena ia jelas bertentangan
dengan realita. Tidak ada fakta di dalam media. Yang ada hanyalah sudut pandang
yang perlu untuk terus dibaca serta ditanggapi secara kritis.
Kritis,
Kritis dan Kritis
Pada
titik ini, sikap kritis mutlak diperlukan. Di tingkat pertama dan terpenting,
kita perlu kritis pada selera kita. Kita perlu sadar, selera dan cara berpikir
kita dibentuk oleh kepungan media di sekitar kita. Dalam banyak hal, kita perlu
untuk menolak selera kita, dan melihatnya semata sebagai ilusi.
Kritis
pada selera berarti juga kritis pada persepsi. Persepsi adalah kesan dan
bayangan kita akan sesuatu yang tak selalu mencerminkan realita. Maka, persepsi
pun harus ditunda kepastiannya, dan diuji keabsahannya. Persepsi harus dilihat
sebagai salah, sampai terbukti sebaliknya.
Pada
titik ini, sikap kritis pada media pun juga mutlak ada. Informasi-informasi
dari berbagai media juga harus dilihat sebagai salah, sampai terbukti
sebaliknya. Fakta harus dilihat sebagai pendapat yang perlu untuk dilihat
dengan kaca mata kritis. Hanya dengan begini, kita bisa lolos dari penipuan
media yang mengacaukan persepsi serta selera kita.
Dalam
konteks ini, kebenaran adalah hasil dari falsifikasi. Ia bukanlah hasil dari afirmasi
buta atas apa yang tertulis dan terdengar. Hasil dari falsifikasi berarti
kebenaran itu telah lolos dari uji coba pencarian hal-hal yang bertentangan
dengan kebenaran itu. Ketika segala yang bertentangan telah diajukan, dan
kebenaran itu tetap tegak berdiri, maka mungkin kita bisa sedikit yakin, bahwa
kita sudah tiba di pintu gerbang kebenaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar