Masa Kejayaan Nasional
Menurut sejarah, kira-kira pada abad
VII-XII, bangsa indonesia telah mendirikan kerajaan Sriwijaya di Sumatera
Selatan dan kemudian pada abad XIII-XVI didirikan pula kerajaan Majapahit di
Jawa Timur. Kedua zaman itu merupakan tonggak sejarah bangsa indonesia karena
bangsa indonesia pada masa itu telah memenuhi syarat-syarat sebagai suatu
bangsa yang mempunyai negara.
Menurut Mr. Muhammad Yamin,
berdirinya negara kebangsaan indonesia tidak dapat dipisahkan dengan
kerajaan-kerajaan lama yang merupakan warisan nenek moyang bangsa indonesia.
Negara kebangsaan Indonesia terbentuk melalui tiga tahap. Pertama, zaman
Sriwijaya di bawah wangsa Syailendra (600-1400). Kedua, Negara kebangsaan zaman
majapahit (1293-1525). Kedua tahap negara kebangsaan tersebut adalah negara
kebangsaan lama. Ketiga, negara kebangsaan modern, yaitu negara indonesia merdeka
17 Agustus 1945
Masa Kerajaan Kutai
Indonesia
memasuki zaman sejarah pada tahun 400 M, dengan ditemukannya prasasti yang
berupa 7 yupa (tiang batu). Berdasarkan prasasti tersebut dapat diketahui bahwa
raja Mulawarman keturunan dari raja Aswawarman keturunan dari Kudungga. Raja
Mulwarman menurut prasasti tersebut mengadakan kenduri dan memberi sedekah
kepada para Brahmana, dan para Brahmana mambangun Yupa itu sebagai tanda
terimakasih raja yang dermawan. Masyarakat kutai yang membangun zaman sejarah
Indonesia pertama kalinya ini menampilkan nilai-nilai sosial politik, dan
ketuhanan dalam bentuk kerajaan, kenduri, serta sedekah kepada para brahmana.
Bentuk
kerajaan dengan agama sebagai tali pengikat kewibawaan raja ini tampak dalam
kerajaan-kerajaan yang muncul kemudian di Jawa dan Sumatera. Dalam zaman kuno
(400-1500) terdapat dua kerajaan yang berhasil mencapai integrasi dengan
wilayah yang meliputi hampir setengah bagian Indonesia dan seluruh wilayah
Indonesia sekarang yaitu kerajaan Sriwijaya di Sumatra dan Majapahit yang
berpusat di Jawa.
Masa Kejayaan Sriwijaya
Menurut
Mr. M. Yamin bahwa berdirinya negara kebangsaan Indonesia tidak dapat di
pisahkan dengan kerajaan-kerajaan lama yang merupakan warisan nenek moyang
bangsa Indonesia. Negara kebangsaan Indonesia terbentuk melalui tiga tahap
yaitu: pertama, zaman sriwijaya di bawah wangsa Syailendra (600-1400), yang
bercirikan kedatuan. Kedua, negara kebangsaan zaman Majapahit (1293-1525) yang
bercirikan keprabuan, kedua tahap tersebut merupakan negara kebangsaan
Indonesia lama. Kemudian ketiga, Negara kebangsaan modern yaitu Negara
Indonesia Merdeka (sekarang negara proklamasi 17 Agustus 1945).
Pada abad ke VII, berdirilah
kerajaan sriwijaya di bawah kekuasaan wangsa Syailendra di Sumatera. Kerajaan
yang berbahasa Melayu Kuno dan menggunakan huruf pallawa tersebut dikenal juga
sebagai kerajaan maritime yang mengandalkan jalur perhubungan laut. Kekuasaan
Sriwijaya menguasai Selat Sunda (686), kemudian Selat Malaka (775). Sistem
perdagangan telah diatur dengan baik, dimana pemerintah melalui pegawai raja
membentuk suatu badan yang dapat mengumpulkan hasil kerajiinan rakyat sehingga
rakyat mengalami kemudahan dalam pemasarannya.
Pada zaman Sriwijaya telah didirikan
universitas agama Budha yang sudah dikenal di Asia. Pelajar dari universitas
ini dapat melanjutkan studi ke India, banyak guru-guru tamu yang mengajar
disini dari India, seperti Dharmakitri. Cita-cita kesejahteraan bersama dalam
suatu negara telah tercermin pada kerajaan Sriwijaya, sebagaimana tersebut
dalam perkataan “marvuat vannua Criwijaya Siddhayatra Subhiksa” (Suatu
cita-cita negara yang adil dan makmur). (Kaelan, 1999: 27).
Unsur-unsur yang terdapat di dalam
pancasila, yaitu ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, tata pemerintahan atas
dasar musyawarah dan keadilan sosial telah terdapat sebagai asas-asas yang
menjiwai bangsa Indonesia, yang dihayati serta dilaksanakan pada waktu itu,
hanya saja belum dirumuskan secara konkret. Dokumen tertulis yang membuktikan
terdapatnya unsur-unsur tersebut ialah prasasti-prasasti di Talaga batu,
Kedukan Bukit, Karang Brahi, Talang Tuo, dan Kota Kapur. Pada hakikatnya
nilai-nilai budaya bangsa semasa kejayaan Sriwijaya telah menunjukkan
nilai-nilai Pancasila, yaitu sebagai berikut.
- Nilai sila pertama, terwujud dengan adanya umat agama Budha dan Hindu hidup berdampingan secara damai. Pada kerajaan Sriwijaya terdapat pusat kegiatan pembinaan dan pengembangan agama Budha.
- Nilai sila kedua, terjalinnya hubungan antara Sriwijaya dengan India (Dinasti Harsha). Pengiriman para pemuda untuk belajar di India. Telah tumbuh nilai-nilai politik luar negeri yang bebas dan aktif.
- Nilai sila ketiga, sebagai negara maritim, Sriwijaya telah menerapkan konsep negara kepulauan sesuai dengan konsepsi wawasan nusantara.
- Nilai sila keempat, Sriwijaya telah memiliki kedaulatan yang sangat luas, meliputi (Indonesia sekarang) Siam, dan Semenanjung Melayu.
Nilai sila kelima, Sriwijaya menjadi
pusat pelayanan dan perdagangan, sehingga kehidupan rakyatnya sangat makmur.
Masa Sebelum Kerajaan Majapahit
Sebelum kerajaan Majapahit muncul
sebagai suatu kerajaan yang memancangkan nilai-nilai nasionalisme, telah muncul
kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah dan Jawa Timur secara silih berganti. Kerajaan
Kalingga pada abad ke VII, Sanjaya pada abad ke VIII yang ikut membantu
membangun candi Kalasan untuk Dewa Tara dan sebuah wihara untuk pendeta Budha
didirikan di Jawa Tengah bersama dengan dinasti Syailendra (abad ke VII dan
IX). Refleksi puncak dari Jawa Tengah dalam periode-periode kerajaan-kerajaan
tersebut adalah dibangunnya candi Borobudur (candi agama Budha pada abad ke
IX), dan candi Prambanan (candi agama Hindhu pada abad ke X).
Selain
kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah tersebut di Jawa Timur muncullah
kerajaan-kerajaan Isana (pada abad ke IX), Darmawangsa (abad ke X) demikian
juga kerajaan Airlanga pada abad ke XI. Raja Airlangga membuat bangunan
keagamaan dan asrama, dan raja ini memiliki sikap toleransi dalam beragama.
Agama yang diakui oleh kerajaan adalah agama Budha , agama Wisnu dan agama
Syiwa yang hidup berdampingan secara damai (Toyyibin, 1997 : 26). Menurut
prasasti Kelagen, Raja Airlangga teelah mengadakan hubungan dagang dan bekerja
sama dengan Benggala, Chola dan Champa hal ini menunjukkan nilai-nilai
kemanusiaan. Demikian pula Airlangga mengalami penggemblengan lahir dan batin
di hutan dan tahun 1019 para pengikutnya, rakyat dan para Brahmana
bermusyawarah dan memutuskan untuk memohon Airlangga bersedia menjadi raja,
meneruskan tradisi istana, sebagai nilai-nilai sila keempat. Demikian pula
menurut prasasti Kelagen, pada tahun 1037, raja Airlangga memerintahkan untuk
membuat tanggul dan waduk demi kesejahteraan rakyat yang merupakan nilai-nilai
sila kelima (Toyyibin, 1997 : 28-29).
Di
wilayah Kediri Jawa Timur berdiri pula kerajaan Singasari (pada abad ke XIII),
yang kemudian sangat erat hubungannya dengan berdirinya kerajaan Majapahit.
Kerjaan Kerajaan
Majapahit
Pada
tahun 1923 berdirilah kerajaan Majapahit yang mencapai zaman keemasannya pada
pemerintahan raja Hayam Wuruk dengan Mahapatih Gajah Mada yang di bantu oleh
Laksamana Nala dalam memimpin armadanya untuk menguasai nusantara. Wilayah
kekuasaan Majapahit semasa jayanya itu membentang dari semenanjung Melayu
(Malaysia sekarang) sampai Irian Barat melalui Kalimantan Utara.
Pada
waktu itu agama Hindu dan Budha hidup berdampingan dengan damai dalam satu
kerajaan. Empu Prapanca menulis Negarakertagama. Dalam kitab tersebut
telah telah terdapat istilah “Pancasila”. Empu tantular mengarang buku Sutasoma,
dan didalam buku itulah kita jumpai seloka persatuan nasional, yaitu “Bhineka
Tunggal Ika”, yang bunyi lengkapnya “Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma
Mangrua”, artinya walaupun berbeda , namun satu jua adanya sebab tidak ada
agama yang memiliki tuhan yang berbeda.
Sumpah
Palapa yang diucapkan oleh Mahapatih Gaja Mada dalam sidang ratu dan
menteri-menteri di paseban keprabuan Majapahit pada tahun 1331, yang berisi
cita-cita mempersatukan seluruh nusantara raya sebagai berikut : “Saya baru
akan berhentui berpuasa makan pelapa, jikalau seluruh nusantara bertakluk di
bawah kekuasaan negara, jikalau Gurun, Seram, Tanjung, Haru, Pahang, Dempo,
Bali, Sunda, Palembang dan Tumasik telah dikalahkan” (Yamin, 1960 : 60).
Dalam tata pemerintahan
kerajaan Majapahit terdapat semacam penasehat seperti Rakryan I Hino , I
Sirikan, dan I Halu yang bertugas memberikan nasehat kepada raja, hal ini
sebagai nilai-nilai musyawarah mufakat yang dilakukan oleh sistem pemerintahan
kerajaan Majapahit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar