Rabu, 14 Desember 2016

Tarumanegara


Ternyata berita itu merupakan “penutup” kisah Negara Tarumanegara. Berita sejarah selanjutnya baik dari cina maupun dari pihak lain, tidak pernah lagi menyebut Negara atau daerah yang bernama T’o-lo-mo atau Tarumanegara, atau nama apapun.
Berdasarkan sumber yang ada hingga saat ini, keadaan masyarakat pada masa Tarumanegara lebih mungkin diperikan. Berdasarkan bukti dan sumber itu, dapat diduga bagaimana kira-kira mata pencaharian penduduk pada masa itu. Jika dugaan mengenai barang dagangan yang berasal dari daerah Ho-ling dapat diterima, diperoleh gambaran bahwa pada masa itu perburuan, pertambangan, perikanan dan peniagaan, termasuk mata pencaharian penduduk, di samping pertanian, pelayaran, dan peternakan.
Berita mengenai perburuan diperoleh dari berita tentang adanya cula badak dan daging gajah yang diperdagangkan, padahal, kita tahu bahwa badak dan gajah adalah binatang liar, dan untuk mendapatkan cula dan gadingnya, terlebih dulu harus dilakukan perburuan. Sumber-sumber sekunder berupa historigrafi tradisional, Tambo Tulangbawang menyebutkan bahwa Mang Wang, Maharaja Bulugading (Tiongkok) memesan cula badak putih dari medanggili, yaitu sebutan untuk Banten, yang biasa dipakai oleh orang-orang pada zaman Hindu, hingga abad ke 13, dan cula badak itu bias didapatkan di ujung Wahanten (Jungkulan) (Roejan, 1954:5).
Sumber ekonomi lainnya yaitu bidang perikanan dapat disimpulkan dari berita tentang kulit penyu yang termasuk barang dagangan yang di gemari paraniagawan cina. Kemungkinan mengenai adanya pertambangan diperoleh dari berita tentang diperdagangkannya emas dan perak sebagai haris daerah itu. Apakah mungkin ini ada kaitannya dengan sebutan “Negara Perak” atau salakanagara? Karena semuanya disebutka sebagai barang dagangan, berarti bahwa perniagaan dengan demikian juga salah satu mata pencaharian penduduk.
Berita-berita cina menyebutkan adanya utusan dari To’lomo, yang tentu dating ke cina dengan berlayar. Ini membuktikan bahwa kemampuan penduduk Tarumanegara di bidang pelayaran tidak usah disangsikan. Bukan tak mungkin penduduk Banten ikut dalam pelayaran itu mengingat keterampilan penduduknya dibidang pelayaran itu. Berdasarkan penemuan purbakala dimanapun, dapat dipastikan bahwa perhubungan yang paling tua umurnya dilakukan melalui darat dan air (Clark, 1960:211). Masyarakat yang lebih sederhana melakukan perhubungan jauh lebih sedikit dibandingkan dengan masyarakat yang lebih maju. Hal itu dilakukan hanya dalam kesempatan tertentu8. Dengan terjadinya perkemvangan budaya, baik melalui penciptaan maupun melalui penemuan, terutama sebagai akibat sentuh budaya, keinginan untuk melakukan perhubungan dengan pihak lain pun kian bertambah.
Berdasarkan data yang ada, hanya diketahui Aksara Pallawa dan bahasa sansekerta yang dikenal pada masa Tarumanegara. Namun, menurut berita cina bahasa K’un-lun digunakan baik di Jawa maupun di Sumatera. Itu berarti bahwa K’un-lun adalah nama namun untuk menyebut bahasa yang digunakan diberbagai tempat di Nusantara, yaitu sebuah bahasa Nusantara yang sudah bercampur dengan unsure bahasa Sansekerta, terutama dalam hal kosakatanya (Groeneveldt, 1879:13).
Para arkeolog juga telah menemukan patung Ganesha, patung Siwa, dan lingga semu/lingga patok di lereng gunung raksa, Pulau Panaitan, yang dapat menjadi bukti awal bahwa pada abad ke-7, disana masyarakatnya beragama Hindu, Dari penelitian Geologis, Pulau Panaitan diperkirakan sudah ada sejak 26 juta tahun yang lalu.





















KESINAMBUNGAN BUDAYA PRA-SEJARAH PADA MASA HINDU-BUDHA DI BANTEN
Ketika turun tirai kehidupan nirleka d wilayah Banten, menyusul kemudian tumbuhnya tata-kehidupan yang mendapat pengaruh anasir-anasir budaya Hinduistikdari India, wilayah Banten telah eksis di panggung sejarah dan tetap memainkan peran sejarahnya dalam dimensi ruang dan budaya. Masa-masa awal berkembangnya anasir-anasir Hinduistik di wilayah Banten, sama halnya dengan bentang waktu kehidupan masa prasejarah, masih belum tergali secara tuntas dan dalam eksplanasi yang belum menyeluruh. Pengungkapan periode awal berkembangnya Hinduisme di wilayah Banten belum banyak didasarkan pada fakta-fakta arkeologis, meskipun beberapa di antaranya memiliki signifikansi hubungan dengan berbagai pusat politik, seperti Tarumanegara dan pakuan Pajajaran. Salah satu usaha untuk menebus stagnasi dalam rekonstruksi periode-periode ini, antara lain melalui kajian sumber asing.
Tetapi karena kurangnya data-data, kita belum dapat mengetahui papakah mereka pun sudah mengenal bentuk kerajaan, yang pati mereka telah mengenal hunungan dengan luar negeri, terutama dengan kerajaan-kerajaan di India dan Asia Tenggara (Ambary, 1977:447). Bukti-bukti hal ini dapat dilihat dari ditemukannya bangunan berupa pundan berundak di Lebak Sibedug, banten selatan, yang merupakan bangunan pengantar antara bangunan prasejarah dengan candi berundak, seperti Borobudur, yang juga terdapat di beberapa tempat di Asia (Michrob, 1988:4)
Berita yang paling meyakinkan tentang hubungan Banten dengan Eropa, India dan cina adalah dengan ditemukannya peta yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus. Peta ini dibuat pada tahun 165 M. berdasarkan tulisan geograf Starbo (24-14 SM) dan Plinius (akhir abad pertama masehi). Dalam peta ini digambarkan tentang jalur pelayaran dari Eropa ke Cina dengan melalui: India, Vietnam, Ujung utara Sumatera, kemudian menyusuri pantai barat Sumatera, Pulau Panaitan, Selat Sunda, terus melalui Laut Tiongkok Selatan sampai ke Cina (Yogaswara, 1978:21-38).
Hal ini dimungkinkan karena memang menurut penyelidikan Prof. Ir, Anwas Adiwilaga, di Pulau Panaitan pada kira-kira tahun 130 M pernah berdiri satu kerajaan yang merupakan kerajaan tertua di Jawa Barat. Kerajaan ini bernama Salakanagara (Negeri Perak) dengan pusatnya di kota Rajatapura, yang terletak di pesisir barat Pandeglang. Raja pertamanya bernama Dewawarman I (130-168 M). daerah kekuasaannya meliputi; kerajaan agrabinta (di Pulau Panaitan), kerajaan Agnynusa (di Pulau Krakatau), dan daerah ujung selatan Sumatera. Dengan demikian seluruh selat sunda dapat dikuasai Dewawarman I ini, sehingga digelari Haji Raksa Gapurasagara (Raja penguasa gerbang lautan) (Yogaswara, 1978:38). Dengan ditemukannya patung Ganesha dan patung Siwa di lereng gunung Raksa, Pulau Panaitan, dapatlah diduga bahwa masyarakatnya beragama Hindu Siwa.
Pulau Panaitan merupakan pulau yang langsung berhubungan dengan selat sunda yang bernama pulau Peucang, luasnya sekitar 17.500 Ha termasuk kawasan Pelestarian/suaka alam Taman Nasional Ujung Kulon. Penelitian geologi di Pulau Panaitan, menunjukkan bahwa pulai ini telah ada sejak 26 juta tahun lalu, apabila dilihat dari umur batuan yang paling tua. Pada berbagai singkapan, tampak bahwa pulau ini tersusun dari jenis-jenis batuan andezite, tuffa, gamping dan yang termuda batuan alluvial.
Data arkeologi dari Pulau Panaitan berupa arca siwa, Ganesha dan Lingga semu/Lingga patok. Arca siwa dari Panaitan pernah raib dicuri, namun kemudian arca tersebut dapat diamankan dan sekarang disimpan di Museum Negeri Sri Badhuga, Bandung, dengan nomor Inventaris 306.2981. Arca ini berukuran tinggi 76,5 cm, lebar dan tebal maksimum 32,5 cm dan 24 cm, dibuat dari batuan andezitik.
Arca siwa ini sering dikatakan berbentuk static dan sederhana, tidak sama dengan penggambaran Dewa Siwa pada umumnya. Hal ini dari arca ini ialah tangan belakang yang memegang trisula dipahat langsung pada sandaran arca di belakang kepala. Kedua tangan bagian depan bersikap varadamudra dan memegang padma memakai selempang pola pita lebar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar