Filsafat
dan Ilmu Pengetahuan
Tentang
manusia dan kehidupannya, filsafat dan ilmu pengetahuan telah menggunakan
berbagai metode untuk memahaminya. Di sini, manusia dipahami sebagai mahluk
yang berakal budi. Dengan akal budinya, manusia mampu bekerja sama, dan
kemudian mewujudkan visi hidup mereka menjadi kenyataan.
Tidak
hanya akal budi, manusia juga adalah mahluk emosional. Mereka mampu merasa, dan
bertindak dengan berdasarkan perasaannya itu. Mereka juga mampu merasakan kasih
kepada manusia, mahluk hidup dan bahkan benda mati lainnya. Perpaduan antara
akal budi, emosi dan kerja sama menghasilkan peradaban manusia beserta segala
kompleksitasnya.
Di
satu sisi, manusia adalah mahluk individual. Ia memiliki perasaan dan pikiran
yang hidup serta berkembang di dalam kehidupan pribadinya. Di sisi lain, ia
adalah mahluk sosial. Identitasnya ditentukan dalam hubungannya dengan
dunianya.
Martin
Heidegger, filsuf Jerman, mencoba menanggapi secara kritis konsep ”manusia”
yang berkembang di dalam filsafat dan ilmu pengetahuan. Kata ”manusia”
sebenarnya mengandaikan adanya pemahaman tertentu sebagai latar belakangnya,
yakni pemahaman yang khas tertanam di dalam filsafat Barat yang dipengaruhi
filsafat Yunani dan agama-agama monoteis, seperti Yahudi, Kristen dan Islam.
Bagi orang yang tidak lahir di dalam peradaban semacam ini, konsep ”manusia”
dipahami secara berbeda.
Oleh
karena itu, Heidegger mencoba menghindari penggunaan kata ”manusia” di dalam
tulisan-tulisannya. Ia memilih menggunakan kata Dasein, yang berarti ”ada di sana”. Di dalam filsafat Jerman, ini
disebut juga sebagai destruksi metafisika, yakni mencoba mengajukan ulang
secara kritis dan mendalam pertanyaan tentang ”Ada” (Sein). Pola berpikir ini nantinya berkembang di dalam pemikiran
pasca modernitas, misalnya di dalam pandangan Derrida tentang dekonstruksi yang
mencoba menunda beragam kepastian pemahaman (Sinnsverschieben).
Filsafat
Timur, yang berkembang di Nepal, India, Cina, Jepang dan Korea, memiliki
pemahaman yang sama sekali berbeda tentang manusia. Manusia tidak dilihat
sebagai mahluk istimewa, tetapi sebagai bagian tak terpisahkan dari segala hal
yang ada di alam semesta ini. Sama seperti segala hal lainnya, manusia adalah
cerminan dari jiwa universal yang disebut juga sebagai Atman. Di dalam beberapa tradisi, seperti tradisi Zen, manusia tidak dijadikan konsep, dan
bahkan tidak dibicarakan sama sekali
Tidak ada komentar:
Posting Komentar