Selasa, 27 Desember 2016

AGAMA DAN KEKERASAN


Agama dan Kekerasan

Ada pepatah Cina kuno yang mengatakan, ”Alat yang baik di tangan orang jahat akan menjadi alat yang jahat.” Sebaik apapun ajaran suatu agama, jika dianut oleh sekumpulan orang yang menderita dan tersesat, maka agama itu akan menjadi jahat yang menghasilkan

penderitaan bagi banyak orang.

Pembunuhan wartawan-wartawan Charlie Ebdo di Paris sungguh menggetarkan hati dunia. Lagi-lagi, agama digunakan untuk membenarkan kekerasan. Sungguh menjijikan. Peristiwa ini terangkai erat dengan pelbagai peristiwa kekerasan atas nama agama lainnya, seperti ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah) yang terus melakukan pembunuhan massal di Irak dan mengancam negara-negara di Timur Tengah lainnya.

Di Nigeria, kelompok Islam ekstrimis Boko Haram juga melakukan pembunuhan massal. Beberapa waktu lalu, kelompok Islam ekstrimis juga melakukan pembunuhan massal terhadap anak-anak di Pakistan. Di Israel, agama Yahudi dijadikan dasar sekaligus pembenaran untuk melakukan penindasan nyaris tanpa henti kepada Palestina. Di Indonesia, diskriminasi terhadap agama minoritas nyaris menjadi makanan sehari-hari.

Tak jauh dari ingatan kita sebagai bangsa Indonesia, Kristianitas digunakan untuk pembenaran bagi proses penjajahan Eropa atas seluruh dunia. Jutaan manusia manusia dari berbagai belahan dunia mati dalam rentang waktu lebih dari 300 tahun, akibat peristiwa ini. Sumber daya alam dikeruk demi kekayaan bangsa-bangsa Eropa. Beragam budaya dan cara hidup hancur di dalam proses penjajahan yang juga memiliki motif Kristenisasi seluruh dunia itu.

Di India, sebelum Natal 2014, sekitar 5000 keluarga diminta untuk memeluk kembali Hinduisme. Mereka yang tidak mau mengubah


agama diminta untuk keluar dari India. Sebagai bangsa, India juga terus dikepung oleh konflik yang terkait dengan agama. Fenomena yang sama berulang kembali: agama digunakan untuk membenarkan tindak kekerasan, guna membela kepentingan ekonomi dan politik yang tersembunyi.

Mengapa ini bisa terjadi? Mengapa peristiwa dengan pola semacam ini terus berulang? Mengapa agama, yang konon mengajarkan kebaikan universal dalam hubungan dengan yang transenden, terus menerus dipelintir untuk membenarkan tindakan biadab? Mengapa hubungan agama dan kekerasan tidak juga bisa diputus? Mengapa kita nyaris tidak belajar apapun dari pelbagai peristiwa biadab ini?


Berpikir Dualistik

Akar dari segala kejahatan dan kekerasan adalah pikiran. Semua tindakan dimulai dari pikiran. Semua penilaian dan analisis mulai dari pikiran. Maka, kita pun harus masuk ke ranah pikiran, guna membongkar akar kekerasan.

Pada hemat saya, akar dari segala kejahatan adalah pola pikir dualistik. Apa itu? Pola pikir dualistik selalu melihat dunia dalam dua kutub yang bertentangan, yakni benar-salah, baik-buruk, suci-tidak suci, beriman-kafir, serta dosa-tidak dosa. Dengan pembedaan ini, kita lalu terdorong selangkah lebih jauh untuk melihat orang lain sebagai musuh (yang berdosa, kafir, salah, dan buruk) yang harus dihancurkan.

Padahal, jika ditelaah lebih dalam, pola berpikir dualistik pada dasarnya adalah salah. Tidak ada dualisme. Dualisme hanya ada di dalam pikiran. Tidak ada perbedaan. Perbedaan hanya tampilan kulit yang menutupi esensi yang sama dari segala hal.

Segala bentuk kekerasan dan kejahatan bisa dilenyapkan, jika kita melepaskan pola berpikir dualistik. Kita lalu melihat diri kita sendiri satu dan sama dengan segala hal, termasuk dengan alam, hewan dan tumbuhan. Kita tidak lagi memiliki dorongan untuk mencap atau


menyakiti apapun atau siapapun, karena kita semua, sejatinya, adalah satu dan sama. Bahkan, pada situasi yang paling ekstrem, kita lebih memilih untuk disakiti, daripada menyakiti orang lain.


Dualistik dan Kekerasan

Namun, pola berpikir dualistik tidak otomatis langsung menciptakan kekerasan. Setidaknya, saya melihat dua hal yang mendorong pola berpikir dualistik menjadi kekerasan. Yang pertama adalah kesenjangan ekonomi yang besar antara orang kaya dan orang miskin. Ketika sekelompok orang hidup dalam kemiskinan yang besar, sementara mereka harus menyaksikan orang-orang kaya bergaya hidup mewah setiap harinya, pola berpikir dualistik akan mendorong terciptanya tindakan kekerasan.

Yang kedua adalah konflik masa lalu yang belum mengalami rekonsiliasi, dan menjadi dendam. Ketika orang hidup dalam dendam, segala hal akan tampak jelek di matanya. Ia akan bersikap jahat, sering-kali tanpa alasan. Maka, segala konflik di masa lalu harus menjalani proses rekonsiliasi, supaya ia tidak berubah menjadi trauma kolektif dan dendam yang mendorong terciptanya kekerasan.

Sebagai manusia, kita perlu untuk memutus rantai pikiran yang memisahkan. Kita perlu melihat dunia apa adanya, tanpa perbedaan. Kita perlu sadar, bahwa segalanya adalah satu dan sama. Kita juga perlu sadar, bahwa kita semua hidup dalam kesatuan jaringan yang tak bisa dipisahkan. Pola berpikir dualistik haruslah dilampaui.

Di sisi lain, kita juga harus berusaha membangun masyarakat tanpa kesenjangan sosial. Tidak boleh ada kesenjangan antara si kaya dan si miskin. Semua harus mendapat hak yang sama sebagai manusia yang bermartabat. Semua juga harus diberikan kesempatan untuk membangun hidupnya secara bermartabat.

Berbagai konflik di masa lalu juga harus diakui dan menjalani proses rekonsiliasi. Rekonsiliasi disini terkait dengan upaya untuk


memperbaiki hidup korban dari konflik di masa lalu. Ia juga terkait dengan mencari tahu, apa yang menjadi akar dan pola konflik yang terjadi di masa lalu itu. Rekonsiliasi akan mengurangi kemungkinan terjadinya konflik dengan pola yang sama di masa depan.


Agama dan Pengalaman Mistik

Setiap agama berawal dari pengalaman mistik manusia. Pengalam-an mistik adalah pengalaman kesatuan dengan sesuatu yang lebih tinggi dari manusia, entah itu alam, roh, Tuhan, Allah dan sebagainya. Pengalaman mistik itu lalu dibagikan kepada orang lain, lalu berkembang menjadi agama. Agama lalu menjadi bagian dari cara hidup masyarakat tertentu.

Pengalaman mistik adalah inti dari semua agama. Agama tanpa pengalaman mistik hanya seperti organisasi biasa. Di dalam pengalaman mistik, orang melihat dirinya sebagai bagian dari kesatuan dengan segalanya. Pengalaman ini lalu coba disampaikan seturut dengan cara-cara kultural yang ia miliki.

Sejatinya, pengalaman mistik tidak bisa dibagikan. Ia adalah pengalaman kesatuan dengan segala hal, yakni pengalaman non-dual. Ketika dibagikan atau disampaikan kepada orang lain, ia lalu berubah menjadi pengalaman dualistik dan pola pikir dualistik. Pola pikir dualistik ditambah dengan berbagai masalah sosial lainnya akan berujung pada kekerasan. Inilah mengapa agama-agama sekarang begitu mudah dipelintir dan bahkan menjadi motif utama terjadinya kekerasan.

Dengan pola berpikir dualistik, setiap agama menulis kitab suci dan merumuskan teologinya masing-masing. Namun, kitab sucii dan teologi justru hanya menciptakan jurang yang lebih dalam, baik di antara penganut agama tersebut, maupun dengan penganut agama lainnya. Terciptalah kelompok-kelompok, seperti kelompok pendosa, kelompok suci, kelompok kafir, kelompok taat, kelompok progresif,



kelompok konservatif dan sebagainya. Mereka lalu saling berperang satu sama lain. Inilah hasil dari pola berpikir dualistik.

Maka dari itu, agama-agama sekarang ini haruslah melihat kitab suci dan teologinya masing-masing tidak sebagai kebenaran mutlak. Semuanya lahir dari pola berpikir dualistik yang tidak sesuai dengan kenyataan dan kebenaran alamiah semesta. Agama-agama harus kembali ke akarnya masing-masing, yakni pengalaman mistik. Pengalaman mistik melampaui pola berpikir dualistik, dan masuk ke ranah tanpa pembedaan.

Pola berpikir mistik menghasilkan kedamaian hati. Kedamaian hati mendorong kedamaian sosial. Para teolog dari berbagai agama berdebat dan bertengkar. Namun, para mistikus dari berbagai agama berjumpa dalam diam, karena mereka tahu, mereka semua satu dan sama. Jadi, agama-agama harus melihat tradisi, teologi dan kitab sucinya masing-masing hanya sebagai alat, dan bukan tujuan pada dirinya sendiri.

Ketika agama kembali ke akarnya masing-masing, yakni pengalaman mistik kesatuan dengan segalanya, maka dunia akan damai. Ketika agama tidak memutlakan ajaran-ajarannya masing, dan melihat segalanya sebagai satu dan sama dalam jaringan yang tak terpisahkan, maka akan tercipta kedamaian yang sejati. Agama tanpa kekerasan hanya bisa dicapai dengan menyentuh pengalaman mistik kesatuan batin manusia dengan semesta. Di ranah itu, kita tidak berjumpa dalam perbedaan, melainkan dalam kesatuan.

Artinya, kita berjumpa dalam cinta… cinta yang sejati.

Wattimena, Reza. 2016. Tentang manusia, Dari pikiran, pemahaman, sampai dengan perdamaian dunia. Yogyakarta: Maharasa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar