Dua
Sayap Pendidikan
Di berbagai negara, kita menemukan banyak pejabat politik
yang terjebak korupsi. Mereka memiliki gelar pendidikan tinggi.
Mereka
juga memiliki nama baik di lingkungan sosialnya. Namun, latar belakang
pendidikan tinggi, pengetahuan agama, serta nama baik sama sekali tidak
menghalangi mereka untuk mencuri dan merugikan orang lain.
Kecenderungan
yang sama juga sering kita temukan di kalangan pemuka agama. Mereka adalah
orang-orang yang dianggap bijak, karena memiliki pengetahuan agama yang tinggi.
Namun, kerap kali, mereka juga jatuh ke dalam sikap bejat yang sama. Korupsi,
pemer-kosaan, penipuan, serta beragam pelanggaran lainnya juga kerap mereka
lakukan, karena kerakusan dan kekosongan batin yang mereka alami.
Kita
juga sering mendengar berita tentang perilaku bejat para manajer dan direktur
perusahaan-perusahaan besar. Mereka mengguna-kan segala cara, guna meraih
keuntungan ekonomis. Mereka juga tak segan untuk merugikan orang lain, guna
mencapai tujuan itu. Kekayaan dan kecerdasan justru bisa digunakan untuk
tujuan-tujuan yang merusak.
Mengapa
ini bisa terjadi? Mengapa pengetahuan yang luas tidak menjamin orang bebas dari
korupsi? Mengapa pengetahuan agama yang mendalam tidak mendorong orang menjadi
lebih baik, melainkan justru menjadi lebih bejat dengan menggunakan
pembenaran-pembenaran palsu dari pengetahuan agama yang dimilikinya?
Pertanyaan-per-tanyaan inilah yang mesti kita jawab bersama.
aspek
yang tak terpisahkan, yakni pengetahuan dan pengalaman. Ketika dua sayap ini
ada, barulah pendidikan bisa mendorong orang tidak hanya untuk cerdas, tetapi
juga terbang menuju kebijaksanaan.
Pengetahuan
bisa diperoleh, ketika kita mendengar ajaran dari orang lain. Kita juga bisa
memperoleh pengetahuan dari membaca buku. Dengan pengetahuan yang ada, kita
bisa meningkatkan mutu hidup kita, sekaligus membantu orang lain. Namun,
pengetahuan semata tidaklah cukup, karena kita masih menciptakan jarak antara
diri kita dengan kenyataan melalui konsep-konsep yang kita rumuskan.
Yang
lebih penting adalah pengalaman. Pengalaman disini adalah persentuhan langsung
dengan kenyataan apa adanya, tanpa terlebih dahulu dihalangi oleh konsep. Pola
semacam ini dapat diperoleh, jika orang melakukan refleksi, yakni melihat jauh
ke dalam dirinya sendiri, guna memahami jati diri sejatinya sebagai manusia.
Inilah kiranya yang kurang di dalam paradigma pendidikan di Indonesia.
Pemahaman
akan jati diri sejati berarti orang bergerak melampaui segala bentuk pemahaman
yang terkait dengan identitas sosial. Kita bukanlah identitas sosial kita. Itu
hanya satu bagian kecil dari kemanusiaan kita. Pemahaman akan jati diri sejati,
ditambah dengan pengetahuan yang luas, akan mendorong orang masuk ke dalam
kebijaksanaan.
Ketika
pendidikan tidak bersayap, ia justru akan menghasilkan manusia-manusia bodoh.
Ketika pendidikan hanya memiliki satu sayap, ia akan rapuh dan akan
menghasilkan manusia-manusia yang cacat. Ketika pendidikan hanya berfokus pada
pengetahuan, ia akan menghasilkan manusia-manusia cerdas yang siap menipu dan
ko-rupsi, ketika ada kesempatan. Ketika pendidikan hanya berfokus pada
pengalaman, ia akan menghasilkan manusia-manusia yang tidak terampil, dan tidak
memiliki arah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar