CIRI DAN GERAK PIKIRAN MANUSIA
Begitu
banyak orang mengalami penderitaan dalam hidupnya. Hampir semua bentuk
penderitaan datang dari pikiran, baik dalam bentuk kecemasan akan masa depan,
maupun penyesalan atas masa lalu. Penderitaan nyata sehari-hari bisa dilampaui
dengan baik, jika orang mampu berpikir jernih, jauh dari kecemasan dan
penyesalan yang kerap mencengkram pikirannya. Sebaliknya, hal kecil akan
menjadi sulit dan rumit, ketika pikiran orang dipenuhi dengan kecemasan dan
penyesalan.
Orang
semacam itu akan sulit berfungsi di masyarakat. Mereka tidak bisa menolong diri
mereka sendiri. Akibatnya, mereka pun cenderung menjadi penghambat bagi orang
lain, dan bahkan bisa membuat orang lain menderita. Beban pikiran yang
berlebihan membuat orang tak mampu menyadari, betapa indah dan sederhana hidup
manusia itu sebenarnya.
Pikiran
Manusia
Kunci
untuk mencegah hal ini adalah dengan memahami hakekat dan gerak pikiran
manusia. Setiap bentuk konsep adalah hasil dari pikiran manusia. Dengan konsep
itu, manusia lalu menanggapi berbagai keadaan di luar dirinya. Dalam hal ini,
emosi dan perasaan juga merupakan hasil dari konsep yang berakar pada pikiran
manusia.
Apa
ciri dari pikiran manusia? Ada tiga ciri mendasar, yakni tidak nyata, sementara
dan rapuh. Pikiran itu bukanlah kenyataan. Ia adalah tanggapan atas kenyataan.
Pikiran dibangun di atas abstraksi konseptual atas kenyataan.
Pikiran
juga sementara. Ia datang, ia pergi, dan ia berubah. Cuaca berubah, maka
pikiran juga berubah. Ketika lapar, pikiran melemah. Dan sebaliknya, ketika
perut kenyang, pikiran bekerja lebih maksimal.
Ini
menegaskan ciri selanjutnya, bahwa pikiran itu rapuh. Apa yang kita pikirkan
sama sekali belum tentu benar. Bahkan, keyakinan kita atas pikiran kita
cenderung mengarahkan kita pada kesalahan dan penderitaan, baik penderitaan
diri sendiri maupun orang lain. Pikiran kita begitu amat mudah berubah, dan ini
jelas menandakan kerapuhan dari semua bentuk pikiran kita.
Ekspresi,
Represi dan Observasi
Namun,
sayangnya, banyak orang mengira, bahwa pikiran mereka adalah kenyataan. Mereka
mengira, bahwa pikiran mereka adalah kebenaran. Emosi dan segala bentuk
perasaan, yang merupakan buah dari pikiran, juga dianggap sebagai realita.
Mereka mengalami kesulitan untuk menjaga jarak dari pikiran mereka sendiri.
Pada
titik ini, biasanya orang melihat dua kemungkinan, yakni ekspresi dan represi.
Ekspresi berarti mengeluarkan semua bentuk pikiran tersebut dalam bentuk
tindakan ataupun kata-kata. Biasanya, orang lain menjadi obyek dari tindakan
ini. Beberapa diantaranya merasa terhina, sehingga membalas, dan membentuk
semacam lingkaran kekerasan yang lebih besar.
Represi
berarti menekan dan menelan semua emosi dan pikiran yang muncul. Pada pikiran
dan emosi yang ekstrem, ini menciptakan rasa sakit yang luar biasa. Dalam
jangka panjang, ini bisa menciptakan penyakit fisik yang berbahaya, seperti
misalnya kanker atau sakit jantung. Represi emosi dan pikiran jelas bukan
merupakan jalan yang tepat.
Ekspresi
menciptakan masalah sosial. Represi menciptakan masalah personal. Banyak orang
terjebak di antara keduanya. Mereka tidak dapat keluar dari pikiran dan emosi
yang mereka anggap nyata.
Namun,
ada jalan keluar dari kebuntuan ini, yakni observasi. Observasi berarti tindak
mengamati apa yang terjadi di dalam pikiran kita secara seksama. Kita mengamati
muncul dan bergantinya pikiran dari satu obyek ke obyek lainnya. Kita bisa
melihat, bagaimana emosi, perasaan dan pikiran terbentuk, dan kemudian berlalu.
Dengan
cara ini, kita menciptakan jarak dengan segala hal yang muncul di kepala kita.
Kita tidak lagi percaya, bahwa itu semua adalah kebenaran. Hasilnya, semua
emosi, pikiran dan perasaan tidak akan mempengaruhi kita. Kita mengalami
kebebasan yang sesungguhnya.
Apa
yang Sedang Mengamati?
Ketika
kita mengamati semua bentuk emosi, perasaan dan pikiran yang muncul, kita lalu
bertanya, apa ini yang sedang mengamati? Siapa ini yang sedang mengamati? Yang
jelas, kita bukanlah pikiran kita. Kita juga bukanlah emosi dan perasaan kita,
karena semua itu datang dan pergi, serta amat rapuh.
Jika
kita bukan pikiran, perasaan maupun emosi kita, lalu apa atau siapakah kita?
Siapa ini yang sedang mengamati? Kita bisa menjawab dengan jawaban-jawaban
lama, seperti jiwa atau roh. Namun, jiwa dan roh adalah konsep-konsep yang
merupakan hasil dari pikiran kita, maka ia juga tidak nyata, sementara dan amat
rapuh.
Pertanyaan
ini membuka ruang baru di dalam hidup kita. Jika dilakukan secara berkala,
yakni bertanya ”Siapa ini yang sedang mengamati?”, kita akan menyadari kehadiran
sang pengamat ini. Ia mengamati setiap detik pikiran, emosi dan perasaan yang
muncul dan pergi di dalam diri kita. Kesadaran ini membuat kita lebih kuat
menghadapi segala hal yang mungkin terjadi di dalam hidup. Dalam jangka
panjang, tidak ada emosi, pikiran ataupun perasaan yang bisa mempengaruhi diri
kita lagi.
Wattimena, Reza. 2016. Tentang manusia, Dari pikiran, pemahaman,
sampai dengan perdamaian dunia. Yogyakarta: Maharasa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar