Hubungan Antara Filsafat dan Ilmu
Filsafat dan ilmu mempunyai relasi atau
yang juga biasa disebut dengan hubungan, di mana hubungan tersebut sangatlah
signifikan. Namun sebelum kami membahas lebih jauh tentang hubungan antara
filsafat dengan ilmu terlebih dahulu kami akan mengulang sekilas tentang
pengertian filsafat dan ilmu secara singkat. Filsafat adalah ilmu
pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu, dengan mencari sebab-sebab yang
terdalam, berdasarkan kekuatan pikiran manusia sendiri. Jadi dalam filsafat
tersebut terdapat metode dan sistem sendiri dalam usahanya untuk mencari
hakikat dari segala seuatu, dan yang dicari ialah sebab-sebab yang terdalam. Ilmu
pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan mengenai suatu hal tertentu (objek
atau lapangannya), yang merupakan kesatuan yang sistematis, dan memberikan
penjelasan yang dapat dipertanggungjawabkan dengan menunjukkan sebab-sebab hal
itu.
Ditinjau dari segi historis, hubungan
antara filsafat dan ilmu pengetahuan mengalami perkembangan yang sangat
mencolok. Pada permulaan sejarah filsafat di Yunani, “philosophia”
meliputi hampir seluruh pemikiran teoritis, Karena filsafat mencakup seluruh
bidang ilmu pengetahuan. Lebih lanjut Nuchelmans (1982), mengemukakan bahwa
dengan munculnya ilmu pengetahuan alam pada abad ke-17, maka mulailah terjadi
perpisahan antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Dengan demikian dapatlah
dikemukakan bahwa sebelum abad ke-17 tersebut ilmu pengetahuan identik dengan
filsafat. Pendapat tersebut sejalan dengan pemikiran Van Peursen (1985), yang
mengemukakan bahwa dahulu ilmu merupakan bagian dari filsafat, sehingga
definisi tentang ilmu bergantung pada sistem filsafat yang dianut. Dan
juga, Bahasa yang dipakai dalam filsafat dan ilmu dalam beberapa hal saling
tumpang tindih. Bahasa yang dipakai dalam filsafat berusaha berbicara mengenai
ilmu, dan bukan berbicara di dalamnya ilmu.
Dalam perkembangan lebih lanjut menurut
Koento Wibisono (1999), filsafat itu sendiri telah mengantarkan adanya suatu
konfigurasi dengan menunjukkan bagaimana ‘pohon
ilmu pengetahuan’ telah tumbuh mekar-bercabang secara subur. Masing-masing
cabang melepaskan diri dari batang filsafatnya, berkembang mandiri dan
masing-masing mengikuti metodologinya sendiri-sendiri. Meskipun demikian,
filsafat dan ilmu pengetahuan masih memiliki hubungan dekat. Sebab baik
filsafat maupun ilmu pengetahuan sama-sama pengetahuan yang metodis,
sistematis, koheren dan mempunyai obyek material dan formal. Filsafat
juga memberi sumbangan dan peran sebagai induk yang melahirkan dan membantu
mengembangkan ilmu pengetahuan hingga ilmu pengetahuan itu dapat hidup dan
berkembang, serta membantu ilmu pengetahuan untuk bersikap rasional dalam
mempertanggungjawabkan ilmunya.
Perkembangan ilmu pengetahuan semakin
lama semakin maju dengan munculnya ilmu-ilmu baru yang pada akhirnya
memunculkan pula sub-sub ilmu pengetahuan baru bahkan kearah ilmu pengetahuan
yang lebih khusus lagi seperti spesialisasi-spesialisasi. Oleh karena itu
tepatlah apa yang dikemukakan oleh Van Peursen (1985), bahwa ilmu pengetahuan
dapat dilihat sebagai suatu sistem yang jalin-menjalin dan taat asas
(konsisten) dari ungkapan-ungkapan yang sifat benar-tidaknya dapat ditentukan. Filsafat
di sini sangatlah berperan penting sebagai jembatan serta wadah antara
perbedaan ilmu yang satu dengan ilmu yang lain. Hal ini senada dengan pendapat
Immanuel Kant (dalam Kunto Wibisono dkk., 1997) yang menyatakan bahwa filsafat
merupakan disiplin ilmu yang mampu menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup
pengetahuan manusia secara tepat. Oleh sebab itu Francis Bacon (dalam The Liang
Gie, 1999) menyebut filsafat sebagai ibu agung dari ilmu-ilmu (the great mother
of the sciences).
Lebih lanjut Koento Wibisono dkk.
(1997) menyatakan, karena pengetahuan ilmiah atau ilmu merupakan “a higher level of knowledge”,
maka lahirlah filsafat ilmu sebagai penerusan pengembangan filsafat
pengetahuan. Filsafat ilmu sebagai cabang filsafat menempatkan objek
sasarannya: Ilmu (Pengetahuan). Bidang garapan filsafat ilmu terutama diarahkan
pada komponen-komponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu yaitu:
ontologi, epistemologi dan aksiologi. Hal ini didukung oleh Israel Scheffler
(dalam The Liang Gie, 1999), yang berpendapat bahwa filsafat ilmu mencari
pengetahuan umum tentang ilmu atau tentang dunia sebagaimana ditunjukkan oleh
ilmu.
Interaksi antara ilmu dan filsafat
mengandung arti bahwa filsafat dewasa ini tidak dapat berkembang dengan baik
jika terpisah dari ilmu. Ilmu tidak dapat tumbuh dengan baik tanpa kritik dari
filsafat. Dengan mengutip ungkapan dari Michael Whiteman (dalam Koento Wibisono
dkk.1997), bahwa ilmu kealaman persoalannya dianggap bersifat ilmiah karena
terlibat dengan persoalan-persoalan filsafati sehingga memisahkan satu dari
yang lain tidak mungkin. Sebaliknya, banyak persoalan filsafati sekarang sangat
memerlukan landasan pengetahuan ilmiah supaya argumentasinya tidak salah.
Lebih jauh, Jujun S. Suriasumantri
(1982:22), –dengan meminjam pemikiran Will Durant– menjelaskan hubungan antara
ilmu dengan filsafat dengan mengibaratkan filsafat sebagai pasukan marinir yang
berhasil merebut pantai untuk pendaratan pasukan infanteri. Pasukan infanteri
ini adalah sebagai pengetahuan yang di antaranya adalah ilmu. Filsafatlah yang
memenangkan tempat berpijak bagi kegiatan keilmuan. Setelah itu, ilmulah yang
membelah gunung dan merambah hutan, menyempurnakan kemenangan ini menjadi
pengetahuan yang dapat diandalkan.
Perbedaan Antara Filsafat dengan Ilmu
Sebagaimana yang telah kami paparkan di
atas bahwa filsafat dan ilmu mempunyai hubungan yang sangat erat, namun keduanya
juga memiliki perbedaan. Prof. Sikun Pribadi mengemukakan perbedaan antara
filsafat dan ilmu pengetahuan, yakni; jelaslah, bahwa perbedaan antara filsafat
dan ilmu pengetahuan, ialah bahwa ilmu pengetahuan bertolak dari dunia fakta
(jadi bersifat ontis), sedangkan filsafat bertolak dari dunia nilai, artinya
selalu menghubungkan masalah dengan makna keseluruhan hidup (jadi bersifat
deontis), walaupun kedua bidang aktivitas manusia itu sifatnya kognetif.
Jadi ilmu berhubungan dengan
mempersoalkan fakta-fakta yang faktual, yang diperoleh dengan eksperimen,
observasi, dan verifikasi, hanya berhubungan sebagian dari aspek kehidupan atau
kejadian yang ad di dunia ini, sedangkan keseluruhan yang bermakna mengemukakan
perbedaan antara filsafat dan ilmu sebagai berikut :
1)
Ilmu berhubungan dengan lapangan yang terbatas, sedangkan
filsafat mencoba berhubungan dengan keseluruhan pengalaman, untuk memperoleh
suatu pandangan yang lebih komprehensif tentang sesuatu.
2)
Ilmu menggunakan pendekatan analitis dan deskriptif,
sedangkan filsafat sintetis atau sinoptis, berhubungan dengan sifat-sifat dan
kualitas alam dan hidup secara keseluruhan.
3)
Ilmu menganalisis keseluruhan menjadi bagian-bagian, dan
organis menjadi organ-organ, filsafat mencoba membedakan sesuatu dalam bentuk
sintesis yang menjelaskan dan mencari makna sesuatu secara keseluruhan.
4)
Ilmu menghilangkan factor-faktor pribadi yang subyektif,
namun filsafat tertarik kepada personalitas nilai-nilai dan semua pengalaman.
5)
Ilmu tertarik kepada hakikat sesuatu sebagaimana adanya,
sedangkan filsafat tidak hanya tertarik kepada bagian-bagian yang nyata,
melainkan juga kepada kemungkinan-kemungkinan yang ideal dari suatu benda,
nilai, dan maknanya.
6)
Ilmu meneliti alam, mengontrol proses alam sedangkan tugas
filsafat mengadakan kritik, menilai dan mengkoordinasikan tujuan.
7)
Ilmu lebih menekankan kepada deskripsi hokum-hukum fenomenal
dan hubungan kausal.
Filsafat tertarik dengan hal-hal yang
berhubungan dengan pertanyaan “why” dan “how”. Ilmu pengetahuan mencari
kebenaran dengan jalan penyeledikan, pengalaman (empiris) dan percobaan
(eksperimen) sebagai batu ujian. Ilmu bersifat pasteriori. Artinya ilmu menarik
sebuah kesimpulannya setelah melakukan pengujian-pengujian secara berulang-ulang.
Untuk kasus tertentu, ilmu bahkan menuntut untuk diadakannya percobaan dan
pendalaman untuk mendapatkan esensinya.
Sedangkan Filsafat mendekati kebenaran
dengan metode yang cukup sistemik yakni menggunakan akal budi secara radikal,
dan integral serta universal, tidak terikat oleh ikatan apapun, kecuali ikatan
tangannya sendiri yang disebut ’logika’. Filsafat bersifat apriori, yaitu
kesimpulan-kesimpulannya ditarik tanpa pengujian. Sebab filsafat tidak
mengharuskan adanya data empiris seperti dimiliki ilmu. Karena filsafat
bersifat spekulatif dan kontemplatif yang ini juga dimiliki ilmu. Kebenaran
filsafat tidak dapat dibuktikan oleh filsafat itu sendiri, tetapi hanya dapat
dibuktikan oleh teori-teori keilmuan melalui observasi dan eksperimen atau
memperoleh justifikasi kewahyuan. Dengan demikian, tidak setiap filosof dapat
disebut sebagai ilmu, sama seperti tidak semua ilmuwan disebut filosof.
Selain itu, Filsafat menyelidiki, membahas,
serta memikirkan seluruh alam kenyataan, dan menyelidiki bagaimana hubungan
kenyataan satu sama lain. Jadi filsafat memandang satu kesatuan yang belum
dipecah-pecah serta pembahasannya secara keseluruhan. Sedangkan ilmu-ilmu lain
atau ilmu vak menyelidiki hanya sebagian saja dari alam maujud ini, misalnya
ilmu hayat membicarakan tentang hewan, tumbuh-tumbuhan, dan manusia; ilmu bumi
membicarakan tentang kota, sungai, hasil bumi, dan sebagainya. Filsafat tidak
hanya menyelidiki tentang sebab akibat, tetapi menyelidiki hakikatnya
sekaligus. Sedangkan ilmu vak membahas tentang sebab dan akibat suatu
peristiwa. Dalam pembahasannya filsafat menjawab apa ia sebenarnya, dari mana
asalnya, dan hedak kemana perginya. Sedangkan ilmu vak harus menjawab
pertanyaan bagaimana dan apa sebabnya.
Ada yang mengatakan bahwa antara ilmu,
filsafat dan agama memiliki hubungan. Namun demikian, tidak menafikan terhadap
pandangan bahwa satu sama lain merupakan ‘sesuatu’ yang terpisah; di mana ilmu
lebih bersifat empiris, filsafat lebih bersifat ide dan agama
lebih bersifat keyakinan. Menurut Muhammad Iqbal dalam Recontruction
of Religious Thought in Islam sebagaimana dikutip Asif Iqbal Khan (2002),
“Agama bukan hanya usaha untuk mencapai kesempurnaan, bukan pula moralitas yang
tersentuh emosi”. Bagi Iqbal, agama dalam bentuk yang lebih modern, letaknya
lebih tinggi dibandingkan puisi. Agama bergerak dari individu ke masyarakat.
Dalam geraknya menuju pada realitas penting yang berlawanan dengan keterbatasan
manusia. Agama memperbesar klaimnya dan memegang prospek yang merupakan visi langsung
realitas. (Asif Iqbal Khan, Agama, Filsafat, Seni dalam Pemikiran Iqbal,
2002: 15)
Menurut Asif (2002: 16), sekalipun
diekspresikan dalam jargon filsafat kontemporer, tetapi mempunyai tujuan yang
sama dengan para ilmuwan Islam pada abad pertengahan yaitu menyeimbangkan agama
di satu pihak dengan ilmu pengetahuan modern dan filsafat utama sebagaimana
tertuang dalam pendahuluan buku rekonstruksinya, yaitu “untuk merekonstruksi
filsafat religious Islam sehubungan dengan tradisi filsafat Islam dan perkembangan
lebih lanjut berbagai bidang ilmu pengetahuan manusia”. Iqbal menegaskan dengan
optimis, “waktunya sudah dekat bagi agama dan ilmu pengetahuan untuk membentuk
suatu harmoni yang tidak saling mencurigai satu sama lain”.
Untuk lebih adilnya dalam menilai
hubungan ketiganya, patut dicermati pandangan Endang Saifuddin Anshari (Ilmu,
Filsafat dan Agama, 1979) yang menyebutkan di samping adanya titik persamaan,
juga adanya titik perbedaan dan titik singgung. Baik ilmu maupun filsafat atau
agama, bertujuan (sekurang-kurangnya berurusan dengan hal yang sama), yaitu
kebenaran. Ilmu pengetahuan dengan metodenya sendiri mencari
kebenaran tentang alam dan manusia. Filsafat dengan wataknya sendiri
pula menghampiri kebenaran, baik tentang alam, manusia dan Tuhan. Demikian pula
agama, dengan karakteristiknya pula memberikan jawaban atas segala
persoalan asasi yang dipertanyakan manusia tentang alam, manusia dan Tuhan.
(Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama, 1979: 169)
Masih menurutnya, baik ilmu maupun filsafat,
keduanya hasil dari sumber yang sama, yaitu ra’yu manusia (akal, budi,
rasio, reason, nous, rede, vertand, vernunft). Sedangkan agama bersumberkan
wahyu dari Allah. Ilmu pengetahuan mencari kebenaran dengan jalan penyelidikan
(riset, research), pengalaman (empirik) dan percobaan. Filsafat
menghampiri kebenaran dengan cara mengembarakan atau mengelanakan akal budi
secara radikal dan integral serta universal tidak merasa terikat
dengan ikatan apapun, kecuali oleh ikatan tangannya sendiri bernama logika.
Kebenaran ilmu pengetahuan adalah kebenaran positif (berlaku sampai
dengan saat ini), sedangkan kebenaran filsafat adalah kebenaran spekulatif
(dugaan yang tak dapat dibuktikan secara empiris, riset dan eksperimental).
Baik kebenaran ilmu maupun kebenaran filsafat bersifat nisbi (relatif),
sedangkan kebenaran agama bersifat mutlak (absolut), karena agama adalah
wahyu yang di turunkan Dzat Yang Maha Benar, Maha Mutlak dan Maha Sempurna.
Baik ilmu maupun filsafat, kedua-duanya
dimulai dengan sikap sangsi atau tidak percaya. Sedangkan agama
dimulai dengan sikap percaya dan iman. Adapun titik singgung,
adalah perkara-perkara yang mungkin tidak dapat dijawab oleh masing-masingnya,
namun bisa dijawab oleh salah satunya. Gambarannya, ada perkara yang dengan keterbatasan
ilmu pengetahuan atau spekulatifnya akal, maka keduanya tidak bisa menjawabnya.
Demikian pula dengan agama, sekalipun agama banyak menjawab berbagai persoalan,
namun ada persoalan-persoalan manusia yang tidak dapat dijawabnya. Sementara
akal budi, mungkin dapat menjawabnya.
Jadi, kesimpulannya, ketiga-tiganya
memiliki hubungan dan tidak perlu dibenturkan satu sama lain selama diyakini
bahwa ilmu manusia memiliki keterbatasan. Demikian pula dengan
filsafat, selama difahami sebagai proses berfikir bukan sebagai penentu.
Adapun agama dapat diyakini, selama dapat dibuktikan dengan dalil-dalil yang
dapat dipertangung jawabkan. Jadi, Titik singgung filsafat dan agama adalah
filsafat berusaha mendapatkan pengertian yang satu dan lengkap tentang
dunia, sedangkan Agama berusaha lebih dari itu, karena Agama berusaha
memastikan kesatuan yang seimbang antara manusia dan dunia, terutama
antara individu dan Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar