Sabtu, 31 Desember 2016

BAIK DAN KEBAIKAN

Bahaya dari Berbuat Baik

Banyak perbuatan baik justru membuat susah orang lain. Banyak orang akhirnya hidup dalam ketergantungan pada kebaikan orang lain. Mereka menjadi malas untuk berdiri di atas kaki sendiri dalam hidupnya. Pepatah lama kiranya benar, bahwa jalan ke neraka kerap kali dilapisi dengan kehendak baik.

Pada kasus-kasus yang lebih parah, perbuatan baik justru membunuh orang lain. Perbuatan baik menciptakan hubungan-hubungan antar manusia yang tidak adil. Hitler memusnahkah orang Yahudi atas nama kehendak baik kepada rakyat Jerman pada awal abad 20. Suharto membantai ratusan ribu atas nama kehendak baik bagi kejayaan Republik Indonesia.

Sekarang ini, ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah) membunuh, menyiksa dan memperkosa warga di Irak dan Suriah. Mereka melaku-kannya atas nama agama. Mereka mengira, perbuatannya adalah perbuatan baik untuk agama dan bangsanya. Pola yang sama ditemu-kan di kelompok teroris Islam radikal Boko Haram di Nigeria Utara.

Mengapa begitu banyak perbuatan baik justru menghasilkan penderitaan yang lebih besar? Mengapa kehendak baik seringkali bermuara pada malapetaka? Mengapa berbuat baik justru berbahaya? Mari kita kupas bersama.


Kebaikan dan Kejernihan

Berbuat baik menjadi petaka, ketika itu dilakukan dengan pamrih. Kehendak baik menjadi jalan ke neraka, ketika ia dilumuri dengan kepentingan kotor. Ini terjadi, karena orang yang berbuat baik tidak memiliki kejernihan pikiran. Pikirannya dilumuri dengan perhitungan untung rugi dan nafsu jahat.

Enomiya-Lasalle, Zen Master dari Jerman, menegaskan, bahwa kejernihan hanya mungkin, jika orang sudah memahami jati diri
sejatinya. Jati diri sejati terletak sebelum segala bentuk pikiran, bahasa dan konsep. Seluruh ajaran filsafat, mistik dan agama di seluruh dunia mengajarkan kita untuk menyadari jati diri sejati kita sebagai manusia. Sayangnya, kita lebih terpaku pada ajaran moral dan ritual, daripada jati diri sejati kita sebagai manusia.

Dengan menyadari jati diri sejati kita sebagai manusia, kita lalu juga sadar, bahwa jati diri sejati kita sama dengan jati diri sejati seluruh alam semesta. Kita semua adalah satu. Tidak ada perbedaan. Perbedaan hanya dibuat oleh bahasa, konsep dan pikiran yang kita rumuskan sendiri.

Man Gong, Zen Master asal Korea, juga menegaskan, bahwa tugas utama kita sebagai manusia adalah menyadari jati diri sejati kita. Semua tugas lain perlu dikesampingkan, supaya kita bisa sampai pada kesadaran semacam ini. Tanpa kesadaran akan jati diri sejati kita sebagai manusia, hidup kita akan terus dipenuhi penderitaan, walaupun kita kaya dan sukses di mata masyarakat. Menyadari jati diri sejati kita adalah tugas asli kita sebagai manusia, ketika dilahirkan ke dunia.

Kejernihan yang lahir dari kesadaran ini membuat kita juga menjadi kritis. Kita tidak lagi menjadi manusia naif yang gampang percaya. Kita melihat kenyataan yang sebenarnya, dan bukan lagi kenyataan yang diberikan kepada kita oleh media, atau pihak-pihak lain yang hendak menyembunyikan kebenaran. Kita tidak lagi gampang tertipu oleh segala bentuk pencitraan.


Bentuk Berbuat baik

Seung Sahn, Zen master asal Korea, merumuskan empat bentuk berbuat baik. Ini penting sekali untuk diperhatikan. Yang pertama adalah berbuat baik dalam bentuk pemenuhan kebutuhan fisik. Ketika ada orang lapar, kita beri makan. Ketika orang kehausan, kita beri minum. Ini bentuk tindakan baik yang paling rendah.
Yang kedua adalah bertindak baik dengan memberikan inspirasi pada orang lain untuk mandiri. Orang lain memperoleh inspirasi, supaya ia lalu bisa bekerja sendiri. Ia juga bisa memotivasi dirinya, ketika keadaan menjadi sulit. Ia menjadi api bagi dirinya sendiri untuk berkembang.

Yang ketiga adalah berbuat baik dengan menjelaskan kepada orang lain hakekat sesungguhnya dari kenyataan yang ada. Artinya, kita mengajarkan kepada orang lain tentang kebenaran dari kenyataan sebagaimana adanya. Kita tidak menipu mereka dengan ajaran maupun konsep yang terlihat indah, namun palsu. Dengan kata lain, kita mem-berikan ”kebenaran” kepada orang lain.

Yang keempat, dan tertinggi, adalah berbuat baik dengan men-jelaskan fungsi yang tepat dari segala sesuatu kepada orang lain, sehingga orang lain bisa menggunakan segala hal yang ia punya untuk menolong semua mahluk. Di dalam tradisi Zen, ini disebut juga jalan Bodhisa va. Orang tidak menolak apapun. Orang menerima segalanya, termasuk hal-hal yang dianggap jelek oleh masyarakat, dan kemudian menggunakan semuanya untuk menolong semua mahluk.

Namun, kesadaran akan fungsi yang tepat dari segala sesuatu ini hanya mungkin, jika kita menyadari jati diri sejati kita. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Untuk mencapai ini, orang kerap kali perlu mengalami penderitaan di dalam hidupnya. Penderitaan disini dilihat sebagai bagian dari jalan menuju kesadaran.


”Jangan” Berbuat Baik

Keempat bentuk kebaikan di atas harus dilakukan, jika kita sudah memperoleh kejernihan di dalam batin dan pikiran kita. Jika pikiran kita masih kacau oleh kepentingan diri dan nafsu kotor, maka jangan berbuat baik. Jika kita pikiran kita masih dilumuri oleh perhitungan untung rugi, maka jangan berbuat baik. Perbuatan baik yang didasari
oleh pamrih dan kekacauan pikiran justru akan melahirkan kejahatan dan penderitaan yang lebih besar.

Dalam arti ini, kita perlu menolong diri kita sendiri terlebih dahulu, sebelum menolong orang lain. Kita perlu berbuat baik pada diri kita sendiri dulu, sebelum kita berbuat baik pada orang lain. Artinya, kita perlu untuk ”selesai” dengan segala pamrih dan perhitungan di dalam diri kita sendiri terlebih dahulu, sebelum membantu orang lain. Jika kita belum ”selesai” dengan diri kita sendiri, maka jangan membantu orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar