Bahaya
dari Berbuat Baik
Banyak
perbuatan baik justru membuat susah orang lain. Banyak orang akhirnya hidup dalam
ketergantungan pada kebaikan orang lain. Mereka menjadi malas untuk berdiri di
atas kaki sendiri dalam hidupnya. Pepatah lama kiranya benar, bahwa jalan ke
neraka kerap kali dilapisi dengan kehendak baik.
Pada
kasus-kasus yang lebih parah, perbuatan baik justru membunuh orang lain.
Perbuatan baik menciptakan hubungan-hubungan antar manusia yang tidak adil.
Hitler memusnahkah orang Yahudi atas nama kehendak baik kepada rakyat Jerman
pada awal abad 20. Suharto membantai ratusan ribu atas nama kehendak baik bagi
kejayaan Republik Indonesia.
Sekarang
ini, ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah) membunuh, menyiksa dan memperkosa
warga di Irak dan Suriah. Mereka melaku-kannya atas nama agama. Mereka mengira,
perbuatannya adalah perbuatan baik untuk agama dan bangsanya. Pola yang sama
ditemu-kan di kelompok teroris Islam radikal Boko Haram di Nigeria Utara.
Mengapa
begitu banyak perbuatan baik justru menghasilkan penderitaan yang lebih besar?
Mengapa kehendak baik seringkali bermuara pada malapetaka? Mengapa berbuat baik
justru berbahaya? Mari kita kupas bersama.
Kebaikan
dan Kejernihan
Berbuat
baik menjadi petaka, ketika itu dilakukan dengan pamrih. Kehendak baik menjadi
jalan ke neraka, ketika ia dilumuri dengan kepentingan kotor. Ini terjadi,
karena orang yang berbuat baik tidak memiliki kejernihan pikiran. Pikirannya
dilumuri dengan perhitungan untung rugi dan nafsu jahat.
Enomiya-Lasalle,
Zen Master dari Jerman, menegaskan, bahwa kejernihan hanya mungkin, jika orang
sudah memahami jati diri
sejatinya.
Jati diri sejati terletak sebelum segala bentuk pikiran, bahasa dan konsep.
Seluruh ajaran filsafat, mistik dan agama di seluruh dunia mengajarkan kita
untuk menyadari jati diri sejati kita sebagai manusia. Sayangnya, kita lebih terpaku
pada ajaran moral dan ritual, daripada jati diri sejati kita sebagai manusia.
Dengan
menyadari jati diri sejati kita sebagai manusia, kita lalu juga sadar, bahwa
jati diri sejati kita sama dengan jati diri sejati seluruh alam semesta. Kita
semua adalah satu. Tidak ada perbedaan. Perbedaan hanya dibuat oleh bahasa,
konsep dan pikiran yang kita rumuskan sendiri.
Man
Gong, Zen Master asal Korea, juga menegaskan, bahwa tugas utama kita sebagai
manusia adalah menyadari jati diri sejati kita. Semua tugas lain perlu
dikesampingkan, supaya kita bisa sampai pada kesadaran semacam ini. Tanpa
kesadaran akan jati diri sejati kita sebagai manusia, hidup kita akan terus
dipenuhi penderitaan, walaupun kita kaya dan sukses di mata masyarakat.
Menyadari jati diri sejati kita adalah tugas asli kita sebagai manusia, ketika
dilahirkan ke dunia.
Kejernihan
yang lahir dari kesadaran ini membuat kita juga menjadi kritis. Kita tidak lagi
menjadi manusia naif yang gampang percaya. Kita melihat kenyataan yang
sebenarnya, dan bukan lagi kenyataan yang diberikan kepada kita oleh media,
atau pihak-pihak lain yang hendak menyembunyikan kebenaran. Kita tidak lagi
gampang tertipu oleh segala bentuk pencitraan.
Bentuk
Berbuat baik
Seung
Sahn, Zen master asal Korea, merumuskan empat bentuk berbuat baik. Ini penting
sekali untuk diperhatikan. Yang pertama adalah berbuat baik dalam bentuk
pemenuhan kebutuhan fisik. Ketika ada orang lapar, kita beri makan. Ketika
orang kehausan, kita beri minum. Ini bentuk tindakan baik yang paling rendah.
Yang
kedua adalah bertindak baik dengan memberikan inspirasi pada orang lain untuk
mandiri. Orang lain memperoleh inspirasi, supaya ia lalu bisa bekerja sendiri.
Ia juga bisa memotivasi dirinya, ketika keadaan menjadi sulit. Ia menjadi api
bagi dirinya sendiri untuk berkembang.
Yang
ketiga adalah berbuat baik dengan menjelaskan kepada orang lain hakekat
sesungguhnya dari kenyataan yang ada. Artinya, kita mengajarkan kepada orang
lain tentang kebenaran dari kenyataan sebagaimana adanya. Kita tidak menipu
mereka dengan ajaran maupun konsep yang terlihat indah, namun palsu. Dengan
kata lain, kita mem-berikan ”kebenaran” kepada orang lain.
Yang
keempat, dan tertinggi, adalah berbuat baik dengan men-jelaskan fungsi yang
tepat dari segala sesuatu kepada orang lain, sehingga orang lain bisa
menggunakan segala hal yang ia punya untuk menolong semua mahluk. Di dalam
tradisi Zen, ini disebut juga jalan Bodhisa
va. Orang tidak menolak apapun. Orang menerima segalanya, termasuk hal-hal
yang dianggap jelek oleh masyarakat, dan kemudian menggunakan semuanya untuk
menolong semua mahluk.
Namun,
kesadaran akan fungsi yang tepat dari segala sesuatu ini hanya mungkin, jika
kita menyadari jati diri sejati kita. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Untuk
mencapai ini, orang kerap kali perlu mengalami penderitaan di dalam hidupnya.
Penderitaan disini dilihat sebagai bagian dari jalan menuju kesadaran.
”Jangan”
Berbuat Baik
Keempat
bentuk kebaikan di atas harus dilakukan, jika kita sudah memperoleh kejernihan
di dalam batin dan pikiran kita. Jika pikiran kita masih kacau oleh kepentingan
diri dan nafsu kotor, maka jangan berbuat baik. Jika kita pikiran kita masih
dilumuri oleh perhitungan untung rugi, maka jangan berbuat baik. Perbuatan baik
yang didasari
oleh
pamrih dan kekacauan pikiran justru akan melahirkan kejahatan dan penderitaan
yang lebih besar.
Dalam
arti ini, kita perlu menolong diri kita sendiri terlebih dahulu, sebelum
menolong orang lain. Kita perlu berbuat baik pada diri kita sendiri dulu,
sebelum kita berbuat baik pada orang lain. Artinya, kita perlu untuk ”selesai”
dengan segala pamrih dan perhitungan di dalam diri kita sendiri terlebih
dahulu, sebelum membantu orang lain. Jika kita belum ”selesai” dengan diri kita
sendiri, maka jangan membantu orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar