Penjajahan
Mainstream
Sekelompok anak muda Indonesia berkumpul. Mereka saling
berbagi cerita. Segala ketakutan dan harapan mereka diutarakan satu sama
lain. Yang menarik, polanya sama.
Mereka
takut hal yang sama: tidak punya uang. Mereka merindukan hal yang sama:
mendapatkan uang yang banyak. Mereka benar-benar merasa, bahwa ketakutan dan
harapan mereka mencerminkan kebenaran. Inilah pola hidup generasi anak muda
Indonesia di awal abad 21 ini.
”Mainstream”
Setiap
jaman memiliki ”mainstream”-nya sendiri. Inilah yang disebut sebagai Zeitgeist, atau semangat jaman. Di awal
abad 21 ini, kita hidup di masa ”uang”. Segala hal diukur dengan uang. Jika
sesuatu, semurni dan setulus apapun itu, tidak memiliki nilai ekonomis, maka ia
dianggap tidak berharga.
Banyak
orang ikut serta secara sukarela dan tanpa sadar di dalam ”mainstream” ini.
Mereka mengikuti pola hidup yang sama. Mereka memiliki selera yang sama. Mereka
memiliki pola pikir yang sama.
Di
sisi lain, mereka juga mempunyai ketakutan yang sama. Mereka khawatir akan hal
yang sama. Mereka memilih hal-hal yang serupa, sekaligus menolak hal-hal yang
sama. Para anggota ”mainstream” ini hidup bagaikan gerombolan domba yang
disetir oleh kekuatan di luar mereka, yakni kekuatan ”mainstream”.
Yang
tercipta kemudian adalah hidup yang sepenuhnya dangkal, yakni hidup yang
sepenuhnya ditujukan untuk kenikmatan diri sendiri dalam bentuk penumpukan
uang. Orang tidak lagi memiliki visi
pribadi
yang lebih luas tentang kehidupan sebagai keseluruhan. Ia hanya ikut arus dari
ujung rambut sampai ujung kuku kakinya.
Akar
dari semua ini adalah ketakutan. Orang mengira, jika ia tidak ikut arus ”mainstream”,
maka ia tidak akan selamat. Ketakutan ini juga didukung oleh fakta di Indonesia,
bahwa negara hampir tidak hadir untuk melindungi rakyatnya, hampir di segala
bidang. Akhirnya, orang harus memikirkan semuanya sendiri melulu untuk
keselamatan dirinya dan keluarganya.
Berpartisipasi
dalam Penindasan
Mengapa
hidup mengikuti arus ”mainstream” ini bermasalah? Pertama, dengan mengikuti
gaya hidup ”mainstream”, orang secara tidak langsung berpartisipasi dalam
melestarikan struktur ketidakadilan sosial yang ada di masyarakat. Di dalam
struktur sosial sekarang ini, sekelompok orang kaya di atas kemiskinan begitu
banyak orang lainnya. Dengan mengikuti gaya hidup ”mainstream”, tanpa sikap
kritis apapun, berarti orang setuju dan mendukung struktur sosial yang menindas
semacam ini.
Kedua,
orang yang hidup mengikuti ”mainstream” secara tidak sadar dimanfaatkan untuk
keuntungan pihak lain. Mereka menjadi benda atau obyek yang diperas demi
kepentingan pihak lain. Seringkali, kepentingan pihak lain itu adalah semata
demi meningkatkan keuntungan, dan seringkali dengan merugikan pihak-pihak lainnya.
Para anggota ”mainstream” ini kerap tidak sadar, kalau mereka hanya barang atau
alat yang diperas semata.
Di
dalam masyarakat konsumtiv kapitalistik sekarang ini, kita semua adalah
komoditi yang siap dijual. Informasi tentang diri kita disebar di Internet
untuk dijual kepada pembeli tertinggi. Kita seringkali tidak sadar dengan hal
ini, karena kita sibuk memuaskan kepentingan diri kita akan uang. Kita sibuk
mengikuti gaya hidup
”mainstream”
yang menyembunyikan penindasan dan ketidakadilan besar di baliknya.
Ketika
kita hidup seperti domba mengikuti pola ”mainstream”, kita merusak masyarakat
yang memang sudah rusak. Kita menjadi korban sekaligus pelaku yang melestarikan
ketidakadilan sosial. Bagaimana keluar dari lingkaran setan semacam ini?
Bagaimana supaya kita terhindar dari penjajahan ”mainstream” ini?
Belajar
dan Bertanya
Yang
jelas, kita perlu mengembangkan kemampuan berpikir kritis. Kita perlu belajar
dan bertanya tentang jalan hidup yang kita pilih, apakah ini ikut melestarikan
ketidakadilan yang ada, atau menguranginya. Kita juga perlu melihat ke dalam
diri kita, apakah kita dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu yang memiliki
kepentingan tidak adil, atau tidak. Kita perlu mencari informasi dan bertanya
pada orang-orang yang tercerahkan, supaya kita tidak menjadi domba yang ikut
arus ”mainstream”, dan secara tidak sadar merugikan banyak orang.
Tidak
semua orang memiliki kekuatan dan kehendak untuk sungguh mengubah keadaan
sosial menjadi lebih baik bagi banyak orang. Namun, setiap orang punya kekuatan
untuk tidak ikut me-nambah ketidakadilan yang ada. Ini bisa dilakukan, jika
kita bersikap kritis terhadap pola hidup ”mainstream”. Bukankah lebih baik kita
hidup sederhana dan bersahaja, daripada hidup mewah bergelimangan harta hasil
dari penipuan dan ketidakadilan sosial di dalam struktur masyarakat kita?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar