Setelah
kita mengenal dan mengetahui berbagai pendapat dari para tokoh filsuf
abad modern seperti Vico, Hegel, Marx dan Oswald Spengler, kita akan
mengenal lagi satu tokoh filsuf yang terkenal berasal dari Inggris yaitu
Arnold J. Toynbee. Ia adalah seorang sarjana Inggris yang dapat
menggemparkan dunia sejarah dengan karangannya yang berjudul “A Study of
History” yang terdiri 12 jilid yang tebal. Buku karangannya tersebut
diterbitkan pertama kali pada tahun 1933.
Dalam bukunya, Toynbee mengemukakan teorinya yang didasarkan atas
penelitiannya pada 21 kebudayaan yang sempurna dan 9 kebudayaan yang
kurang sempurna yang ada diseluruh dunia. Misalnya, kebudayaan yang
sempurna diantaranya Yunani, Roma, Maya (Amerika Tengah), Hindu, Barat
(Eropa), Eropa Timur dan sebagainya. Sedangkan yang tidak sempurna
antara lain Eskimo, Sparta, Polynesia, Turki dan sebagainya.
Berdasarkan teori yang disampaikan dalam buku-bukunya, Arnold J. Toynbee
memberi kesimpulan yaitu dalam gerak sejarah tidak terdapat hukum
tertentu yang menguasai dan mengatur timbul tenggelamnya
kebudayaan-kebudayaan dengan pasti (Tamburaka, 1999: 65).
1. Bentuk Pola / Irama Gerak Sejarah
Dalam
melihat dan menentukan pola / irama gerak sejarah, Arnold J. Toynbee
membandingkan perkembangan / proses sejarah dengan kebudayaan. Menurut
pandangan Toynbee, kebudayaan (civilization) adalah wujud daripada
kehidupan suatu golongan seluruhnya. Pendapat Toynbee ini serupa seperti
apa yang disebut oleh Oswald Spengler sebagai kultur dan civilization.
Menurut Toynbee, gerak sejarah melalui tingkatan-tingkatan seperti berikut:
a) Genesis of civilization (lahirnya kebudayaan)
Suatu
kebudayaan terjadi dan muncul karena adanya tantangan dan jawaban
(challenge and response) antara manusia dengan alam sekitar. Alam
sebagai tempat tinggal manusia, tidak selamanya akan memenuhi kebutuhan
manusia. Dan manusia tidak akan selamanya terlena akan kekayaan alam
yang ada tanpa harus diolah dan dilestarikan. Alam akan memberikan
tantangan kepada manusia untuk memberikan pengalaman hidup yang akan
berkembang menjadi suatu kebudayaan.
Setelah alam memberi tantangan
kepada manusia, kemudian manusia pun memberi jawaban akan tantangan alam
sehingga menimbulkan suatu kebudayaan. Dalam alam yang baik, manusia
berusaha untuk mendirikan suatu kebudayaan seperti India, Eropa,
Tiongkok. Alam yang memiliki kondisi alam seperti iklim yang sesuai
dengan kondisi tubuh manusia, sehingga manusia dapat melahirkan suatu
kebudayaan yang setelah itu ditumbuhkembangkan oleh manusia itu sendiri
sebagai peradaban yang dapat memberikan nilai positif bagi alam.
Akan
tetapi apabila kondisi alam yang tidak baik, manusia tidak akan bisa
mendirikan suatu kebudayaan yang nantinya menjadi sebuah peradaban.
Seperti didaerah yang terlalu dingin atau daerah yang terlalu panas
tidak dapat timbul suatu kebudayaan dikarenakan alamnya tidak
bersahabat, sehingga manusia sibuk untuk mempertahankan hidup tanpa
harus memperhatikan kebudayaan apa yang dapat mereka lahirkan dan
wariskan kepada anak cucu mereka.
b) Growth of civilization (perkembangan kebudayaan)
Dari
kondisi alam yang baik sehigga menimbulkan lahirnya kebudayaan, dalam
perkembangan suatu kebudayaan, yang merupakan kejadian yang digerakkan
oleh sebagian kecil dari pihak-pihak kebudayaan itu. Pihak-pihak
kebudayaan itu adalah suatu kelompok manusia yang menjadi sebuah
masyarakat. Suatu kelompok dalam jumlah kecil (minority) itu menciptakan
kebudayaan dari jawaban yang diberikan dan tantangan alam, kemudian
ditiru oleh sebagian besar masyarakat (mayority). Suatu kebudayaan
dikembangkan oleh minority yang kuat dan dapat menciptakan suatu
kebudayaan. Suatu kelompok nkecil (minority) yang kuat mengembangkan
kebudayaan dengan menyebarkan kebudayaan dan mempengaruhi masyarrakat
untuk meniru kebudayaan yang telah diciptakan minority.
c) Decline of civilization (keruntuhan kebudayaan)
Perkembangan
kebudayaan yang ditumbuh kembangkan oleh minority yang kuat. Apabila
minority sudah sanggup lagi untuk mempertahankan kebudayaan (lemah) dan
kehilangan daya ciptanya, maka tantangan-tantangan dari alam tidak dapat
lagi dijawab. Akibatnya apabila keadaan sudah memuncak seperti itu,
maka akan terjadi keruntuhan yang menyebabkan kehancuran kebudayaan
seakan-akan lenyap ditelan alam.
Menurut Toynbee, keruntuhan itu terjadi dalam tiga masa gelombang, yaitu:
1)
kemerosotan kebudayaan, disebabkan oleh kehilangan daya tarik minoritas
untuk menciptakan kebudayaan serta kehilangan kewibawaannya, maka
mayority tidak lagi bersedia mengikuti minoritas peraturan dalam
kebudayaan (antara minoritas dan mayoritas) pecah dan tentulah
tunas-tunas hidupnya kebudayaan akan lenyap.
2) Kehancuran
kebudayaan, mulai tampak setelah tunas-tunas kehidupan itu mati dan
pertumbuhan terhenti. Setelah pertumbuhan terhenti maka seolah-olah daya
hidup itu membeku dan terdapatlah suatu kebudayaan yang tidak berjiwa
lagi. Toynbee menyebut masa ini sebagai petrification, pembuatan atau
kebudayaan yang sudah menjadi batu, mati dan menjadi fosil.
3)
Lenyapnya kebudayaan ialah apabila tubuh kebudayaan yang sudah menjadi
batu itu hancur lebur kemudia lenyap. (yamburuka, 1999: 66-67)
Jika
kita melihat pendapat Toynbee diatas mengenai gerak sejarah dapat
disimpulkan bahwa pada gerak sejarah menurut pandangan Toynbee adalah
bentuk hukum Fatum-Cyklus dalam wujud bentuk modern. Karena pandangan
dari Toynbee, tidak hanya memperhatikan gerak dari proses sejarah saja,
akan tetapi juga memperhatikan bagaimana awal kejadian dan kebudayaan,
kemudian berkembang dan akhirnya mundur dan hilang. Dan juga
meperhatikan waktu yang dibutuhkan kebudayaan untuk timbul, berkembang,
dan mundur. Ini dibuktikan dalam penelitian Toynbee misalnya tentang
kebudayaan Tiongkok-kuno yang menjelaskan, antara Break Down (merosot),
disintegration ( hancur), Dissolution (lenyap) suatu kebudayaan tidak
berlangsung dengan cepat yaitu terbentang masa 2000 tahun yang masa itu
disebut masa pembatuan (petrification).
2. Arah dan Tujuan Gerak Sejarah
Setelah
melihat pola gerak sejarah yang berbentuk hukum fatum-cylus dalam wujud
bentuk modern, yang pada masa breakdown (merosot) sebelum masa
disintegrasi timbul, sering terdapat suatu usaha untuk menghentikan
kehancuran. Usaha itu dipimpin oleh jiwa-jiwa besar yang bertindak
seolah-olah sebagai Al-Masih. Akan tetapi perjuangan tersebut tidak
berhasil.
Suatu
usaha yang dilakukan untuk menghentikan keruntuhan suatu kebudayaan
yang mungkin berhasil ialah penggantian dari segala norma-norma
kebudayaan dengan norma-norma ketuhanan. Maka dengan penggantian itu
tampaklah bahwa arah dan tujuan gerak sejarah menurut pandangan Toynbee
ialah kehidupan ketuhanan.
Kehidupan
ketuhanan yang merupakan arah gerak sejarah, dengan tujuan untuk meraih
kesempurnaan yaitu menuju ke kerajaan Allah (menurut paham Protestan)
dengan mengetahui kehendak Allah dan wujud daripada kehendak itu dalam
sejarah agar dapat lebih mencintai Tuhan. Dan jika kita melihat dari
pandangan Ibnu Khaldun yang menentukan arah gerak sejarah yaitu ke arah
kemajuan dan kesempurnaan. Dan ketika kita hubungkan antara pandangan
Toynbee dan Ibnu Khaldun, keduanya sama-sama memiliki tujuan untuk
menuju ke arah kesempurnaan dengan apa yang menjadikan manusia lebih
baik sesuai kehendak Allah.
Akibat dari penelitian Toynbee adalah
tiada hukum yang pasti dan lingkaran-lingkaran tertentu melelui mana
haruslah bersatu. Dan Toynbee berusaha menjawab pertanyaan tentang
tujuan gerak sejarah yaitu filsuf yang benar adalah seorang sejarahwan
yang terpelajar dalam studi empiris dan yang didasarkan juga atas
keyakinan religius sejati (David Richardson, dalam Tamburata, 1999: 69)
3. Penggerak Yang Menjadi Sumber Gerak Sejarah
Dari
penjelasan diatas, dari pandangan Toynbee tentang pola gerak sejarah
dan tujuannya, jelaslah bahwa penggerak dari gerak sejarah menurut
pandangan Toynbee adalah:
a. Tuhan, sebagai pencipta dari alam dan manusia
b. Alam, yang memberikan hubungan dan jawaban kepada manusia
c. Manusia, yang bertindak sebagai pencipta kebudayaan
Tuhan
yang merupakan pencipta alam dan manusia, yang manusia mengetahui
kehendak dan wujud dari kehendak-Nya yang menjadi tujuan dari manusia
untuk menuju kehidupan ketuhanan. Tuhan yang bersemayam di kerajaan-Nya
yang berkehendak untuk menjadikan manusia menjadi sempurna dan lebih
baik. Hal ini sama dengan ajaran Jawa yaitu ”Manunggaling Kaula Gusti”,
yang menghendaki manusia untuk menjadi lebih baik untuk menjadi sempurna
dan kembali ke sisi Tuhan.
Alam
sebagai tempat tinggal manusia yang memberikan tantangan, kemudian
manusia menjawabnya dengan menciptakan suatu kebudayaan yang baik untuk
alam. Alam tidak selalu memberi kondisi yang baik, akan tetapi juga
memberikan manusia yang tidak baik, sehingga kebudayaan tidak akan
muncul.
Manusia
sebagai pencipta kebudayaan yang merupakan penggerak utama dari gerak
sejarah, karena manusialah yang menentukan arah dan tujuan dari gerak
sejarah sehingga kekuatan yang ada dalam manusia menjadi faktor dari
timbul dan tenggelamnya kebudayaan yang merupakan wujud dari gerak
sejarah. Jadi tiga penggerak ini dapat saling berhubungan menjadi unsur
dari gerak sejarah.
blog filsafat
Sabtu, 31 Desember 2016
FILSAFAT MATEMATIKA
Filsafat
matematika adalah cabang ilmu filsafat yang bertujuan untuk merefleksikan, dan
menjelaskan hakekat matematika. Hal ini merupakan kasus khas dari kegunaan
epistemologi yang bertujuan menjelaskan pengetahuan manusia secara umum.
Filsafat matematika mengajukan pertanyaan - pertanyaan seperti: Apa dasar dari
pengetahuan matematika? Apa hakekat kebenaran matematika? Apa yang mencirikan
matematika? Apa pembenaran kebenaran matematika? Mengapa kebenaran matematika
dianggap sebagai kebenaran yang mendasar?
Filsafat matematika pada dasarnya adalah pemikiran reflektif
terhadap matematika. Matematika menjadi ilmu pokok soal yang dipertimbangkan
secara cermat dan penuh perhatian. Pemikiran filsafati juga bersifat reflektif
dalam arti menengok sendiri untuk memahami bekerjannya budi itu sendiri. Ciri
relektif yang denikian itu ditekankan oleh para filsuf Inggris R.G. Collingwood
yang menyatakan “Philosophy is reflective”. The philosophizing mind never
simply thinks about an object; it always, while thinking about any object,
think also about its own thought about than object.” (Filsafat bersifat
reflektif. Budi yang berfilsafat tidaklah semata – mata berpikir tentang suatu
obyek, budi itu senantiasa berpikir juga berpikir tentang pemikirannya sendiri
tentang obyek itu). Jadi budi manusia yang diarahkan untuk menelaah obyek –
obyek tertentu sehingga melahirkan matematika kemudian juga memantul berpikir
tentang matematika sehingga membutuhkan filsafat matematika agar memperoleh
pemahaman apa dan bagaimana sesungguhnya matematika itu.
Di antara ahli – ahli matematika dan para filsuf tidak
tampak kesatuan pendapat mengenai apa filsafat matematika itu. Sebagai sekedar
contoh dapatlah dikutipkan dari perumusan – perumusan dari 2 buku matematika
dan 2 buku filsafat yang berikut:
1)
Suatu
filsafat matematika dapatlah dilukiskan sebagai suatu sudut pandangan yang dari
situ pelbagai bagian dan kepingan matematika dapat disusun dan dipersatuja berdasarkan
beberapa asas dasar.
2)
Secara
khusus suatu filsafat matematika pada dasarnya sama dengan suatu percobaan
penyusunan kembali yang dengannya kumpulan pengetahuan matematika yang kacau –
balau yang terhimpun selama berabad – abad diberi suatu makna atau ketertiban
tertentu.
3)
Penelaah
tentang konsep – konsep dari pembenaran terhadap asas – asas yang dipergunakan
dalam matematika
4)
Penelaah
tentang konsep – konsep dan sistem – sistem yang terdapat dalam matematika, dan
mengenai pembenaran terhadap pernyataan – pernyataan berikut.
Dua pendapat yang pertama dari ahli – ahli matematika
menitik beratkan filsafat matematika, sebagai usaha menyusun dan menertibkan
bagian – bagian dari pengetahuan matematika yang selama ini terus berkembang
biak. Sedang 2 definisi berikutnya dari ahli filsafat merumuskan filsafat
matematika sebagai studi tentang konsep – konsep dalam matematika dan
pembenaran terhadap asas atau pembenaran matematika.
Menurut pendapat filsuf Belanda Evert Beth di sampingnya
matematika sendiri dan filsafat umum harus pula dibedakan adanya 2 bidang
pemikiran lainya, yakni filsafat matematika dalam arti yang lebih luas
(philosophy of mathematics in a broader sense) dan penelitian mengenai landasan
matematika (foundation mathematics). Landasan matematika kadang – kadang
disamakan pengertiannya dengan filsafat matematika. Tetapi sesungguhnya
landasan matematika merupakan bidang pengetahuan yang palling sempit dari
bidang filsafat matematika. Foundation of mathematics khususnya bersangkut paut
dengan konsep – konsep asas foundamental (fundamental concepts and principles)
yang mempergunakan dalam matematika. Dengan demikian kedua definisi philosophy
of mathematics dari kamus – kamus filsafat tersebut diatas lebih merupakan
batasan pengertian matematika. Charles Parsons dalam The Encyclopedia of
Philosophy menegaskan:
Penelitian landasan senantiasa bersangkutan dengan masalah
tentang pembenaran terhadap pernyataan – pernyataan dan asas – asas matematika,
dengan pemahaman mengapa proporsisi – proporsisi tertentu yang jelas sendirinya
adalah demikian, dengan pemberian pembenaran terhadap asas – asas yang telah
diterima tampaknya tidak sendirinya begitu jelas, dan dengan penemuan dan
penanggalan asas – asas yang tak terbebankan.)
Peran filsafat
matematika adalah untuk menunjukkan dasar yang sistematis dan benar-benar aman
untuk pengetahuan matematika, diperuntukkan
untuk kebenaran matematika.
Asumsi ini adalah dasar dari foundationism, doktrin bahwa fungsi dari filsafat matematika adalah untuk menunjukkan dasar pengetahuan matematika. Foundationism terikat dengan pandangan absolutis pengetahuan matematika, karena menganggap tugas pembenaran pandangan ini menjadi tujuan utama filsafat matematika.
Asumsi ini adalah dasar dari foundationism, doktrin bahwa fungsi dari filsafat matematika adalah untuk menunjukkan dasar pengetahuan matematika. Foundationism terikat dengan pandangan absolutis pengetahuan matematika, karena menganggap tugas pembenaran pandangan ini menjadi tujuan utama filsafat matematika.
APA SIH MANFAAT BELAJAR MATEMATIKA?
Rata-rata orang, apabila ditanya
matapelajara apa yang paling sulit atau tidak disukai? Pasti salah satu
dari sekian banyak jawaban adalah Matematika. Kenapa demikian?
Padahal Matematika sering sekali kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Tidak terasa memang. Namun dengan mempelajari matematika dapat memberikan banyak manfaat. Apa saja manfaat nya?
Padahal Matematika sering sekali kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Tidak terasa memang. Namun dengan mempelajari matematika dapat memberikan banyak manfaat. Apa saja manfaat nya?
1. cara berpikir matematika itu sistematis, melalui urutan-urutan
yang teratur dan tertentu. dengan belajar matematika, otak kita terbiasa untuk
memecahkan masalah secara sistematis. Sehingga bila diterapkan dalam kehidupan
nyata, kita bisa menyelesaikan setiap masalah dengan lebih mudah
2. cara
berpikir matematika itu secara deduktif. Kesimpulan di tarik dari hal-hal yang
bersifat umum. bukan dari hal-hal yang bersifat khusus. sehingga kita menjadi
terhindar dengan cara berpikir menarik kesimpulan secara “kebetulan”. Misalnya
kita tidak bisa menyatakan kalo “kita tidak boleh lewat jalan A pada hari
sabtu, karena jalan tersebut meminta tumbal tiap hari sabtu” hanya karena ada
beberapa orang yang kebetulan kecelakaan dan meninggal di jalan tersebut pada
hari sabtu. Kita seharusnya berpikit bahwa orang yang meninggal di jalan
tersebut pada hari sabtu bukan karena tumbal. tapi harus dianalisa lagi apakah
karena orang tersebut tidak hati-hati, ataukah jalan yang sudaha agak rusak,
atau sebab lain yang lebih rasional.
3. belajar matematika melatih kita menjadi manusia yang lebih teliti,
cermat, dan tidak ceroboh dalam bertindak. Bukankah begitu? coba saja. masih
ingatkah teman-teman saat mengerjakan soal-soal matematika? kita harus
memperhatikan benar-benar berapa angkanya, berapa digit nol dibelakang koma,
bagaimana grafiknya, bagaimana dengan titik potongnya dan lain sebaganya. jika
kita tidak cermat dalam memasukkan angka, melihat grafik atau melakukan
perhitungan, tentunya bisa menyebabkan akibat yang fatal. jawaban soal yang
kita peroleh menjadi salah dan kadang berbeda jauh dengan jawaban yang
sebenarnya.
4. belajar matematika juga mengajarkan kita menjadi orang yang sabar
dalam menghadapi semua hal dalam hidup ini. saat kita mengerjakan soal dalam
matematika yang penyelesaiannya sangat panjang dan rumit, tentu kita harus
bersabar dan tidak cepat putus asa. jika ada lamgkah yang salah, coba untuk
diteliti lagi dari awal. jangan-jangan ada angka yang salah, jangan-jangan ada
perhitungan yang salah. namun, jika kemudian kita bisa mengerjakan soal
tersebut, ingatkah bagaimana rasanya? rasa puas dan bangga.( tentunya jika
dikerjakan sendiri, buakn hasil contekan,. he.he.he). begitulah hidup.
kesabaran akan berbuah hasil yang teramat manis.
METODE DAN PENDEKATAN FILSAFAT POLITIK
dari segi metode,
menjawab pertanyaan normative
1.
Pendekatan Sebagian vs Sistematis (Piecemal vs Sistematic Approach)
a.
Pendekatan sebagian
·
pendekatan sebagian dalam studi filsafat politik mengambil bentuk
berupa pencarian konsep-konsep normatif (project of normative inquiry).
Dalam pencarian konsep-konsep normatif, kajian tentang demokrasi, misalnya,
dikembangkan dengan memeriksa apakah demokrasi dapat diterima sebagai sesuatu
yang bernilai atau tidak bernilai (Analisis Konseptual).
·
Pendekatan sebagian dapat mendorong munculnya penemuan yang lebih
mendalam dan kritis mengenai konsep atau isu penting tertentu dalam filsafat
politik dan akan membantu menjelaskan relevansinya dengan situasi aktual yang
kita hadapi.
b.
Pendekatan sistematis
·
berusaha "mengembangkan proyek yang sistematis dan bersifat
mencakup semua filsafat praktis tentang politik" (Brown, 1986, p. 15).
Dengan ini, pertama, filsafat politik melangkah jauh dari sekadar "proyek
analisis konseptual", yaitu memberikan perhatian terhadap masalah yang
muncul dalam kehidupan politik dengan memberikan petunjuk tentang prinsip
keadilan atau bentuk pemerintahan. Kedua, dengan pendekatan sistematis,
filsafat politik juga dibedakan dari sekadar usaha terlibat dalam pencarian
secara sebagian atas premis nilai yang bersifat normatif (piecemal normative
inquire). Kajian tentang konsep demokrasi misalnya akan gagal jika dilihat
hanya sebagai nilai (untuk ditolak atau disetujui) tanpa usaha mengkaitkannya
dengan keseluruhan nilai yang mendasari sebuah masyarakat.
·
pendekatan sistematis menyarankan bahwa filsafat politik perlu
terlibat dalam totalitas citra politik, yaitu dengan terus menerus menemukan
konsistensi pandangan politik satu sama lain, dan karena itu mengharuskan
bentuk kajian yang bersifat perbandingan (interdisciplinary) atau
memperhatikan antar hubungan dari berbagai pandangan politik.
2.
Pendekatan pemecahan masalah vs pendekatan kritis
a. Pendekatan pemecahan
masalah
Dengan pendekatan ini, sistem ekonomi yang
didasarkan pada paham kapitalisme atau sosialisme, misalnya, akan diterima
sebagai sesuatu yang dalam dirinya sendiri tanpa cacat ; berbagai masalah
yang timbul didalamnya hanya dilihat sebagai masalah teknis atau managerial
semata sehingga memungkinkan sistem itu bekerja secara lebih efektif dan
efisien. Begitu juga, sebuah sistem dari kepemerintahan internasional (international
governance) yang berlandaskan pada kedaulatan negara, jika diterima sebagai
“kenyataan“ juga akan memungkinkan munculnya anggapan bahwa tidak realistik untuk
mengharapkan apalagi mengajukan perubahan ekstensif terhadap sistem itu.
b. Pendekatan kritis
Pendekatan kritis, menurut Cox, juga ”diarahkan
pada kompleksitas sosial dan politik sebagai keseluruhan daripada pada bagian
yang terpisah” (1986, p. 208). Artinya menyajikan formula yang dapat
dipergunakan dalam menjawab kompleksitas sosial, politik dan ekonomi sebagai
keseluruhan, dan bukan menangani bagian tertentu dari isu sosial, politik atau
ekonomi.
ANTARA FILSAFAT DAN ILMU
Hubungan Antara Filsafat dan Ilmu
Filsafat dan ilmu mempunyai relasi atau
yang juga biasa disebut dengan hubungan, di mana hubungan tersebut sangatlah
signifikan. Namun sebelum kami membahas lebih jauh tentang hubungan antara
filsafat dengan ilmu terlebih dahulu kami akan mengulang sekilas tentang
pengertian filsafat dan ilmu secara singkat. Filsafat adalah ilmu
pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu, dengan mencari sebab-sebab yang
terdalam, berdasarkan kekuatan pikiran manusia sendiri. Jadi dalam filsafat
tersebut terdapat metode dan sistem sendiri dalam usahanya untuk mencari
hakikat dari segala seuatu, dan yang dicari ialah sebab-sebab yang terdalam. Ilmu
pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan mengenai suatu hal tertentu (objek
atau lapangannya), yang merupakan kesatuan yang sistematis, dan memberikan
penjelasan yang dapat dipertanggungjawabkan dengan menunjukkan sebab-sebab hal
itu.
Ditinjau dari segi historis, hubungan
antara filsafat dan ilmu pengetahuan mengalami perkembangan yang sangat
mencolok. Pada permulaan sejarah filsafat di Yunani, “philosophia”
meliputi hampir seluruh pemikiran teoritis, Karena filsafat mencakup seluruh
bidang ilmu pengetahuan. Lebih lanjut Nuchelmans (1982), mengemukakan bahwa
dengan munculnya ilmu pengetahuan alam pada abad ke-17, maka mulailah terjadi
perpisahan antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Dengan demikian dapatlah
dikemukakan bahwa sebelum abad ke-17 tersebut ilmu pengetahuan identik dengan
filsafat. Pendapat tersebut sejalan dengan pemikiran Van Peursen (1985), yang
mengemukakan bahwa dahulu ilmu merupakan bagian dari filsafat, sehingga
definisi tentang ilmu bergantung pada sistem filsafat yang dianut. Dan
juga, Bahasa yang dipakai dalam filsafat dan ilmu dalam beberapa hal saling
tumpang tindih. Bahasa yang dipakai dalam filsafat berusaha berbicara mengenai
ilmu, dan bukan berbicara di dalamnya ilmu.
Dalam perkembangan lebih lanjut menurut
Koento Wibisono (1999), filsafat itu sendiri telah mengantarkan adanya suatu
konfigurasi dengan menunjukkan bagaimana ‘pohon
ilmu pengetahuan’ telah tumbuh mekar-bercabang secara subur. Masing-masing
cabang melepaskan diri dari batang filsafatnya, berkembang mandiri dan
masing-masing mengikuti metodologinya sendiri-sendiri. Meskipun demikian,
filsafat dan ilmu pengetahuan masih memiliki hubungan dekat. Sebab baik
filsafat maupun ilmu pengetahuan sama-sama pengetahuan yang metodis,
sistematis, koheren dan mempunyai obyek material dan formal. Filsafat
juga memberi sumbangan dan peran sebagai induk yang melahirkan dan membantu
mengembangkan ilmu pengetahuan hingga ilmu pengetahuan itu dapat hidup dan
berkembang, serta membantu ilmu pengetahuan untuk bersikap rasional dalam
mempertanggungjawabkan ilmunya.
Perkembangan ilmu pengetahuan semakin
lama semakin maju dengan munculnya ilmu-ilmu baru yang pada akhirnya
memunculkan pula sub-sub ilmu pengetahuan baru bahkan kearah ilmu pengetahuan
yang lebih khusus lagi seperti spesialisasi-spesialisasi. Oleh karena itu
tepatlah apa yang dikemukakan oleh Van Peursen (1985), bahwa ilmu pengetahuan
dapat dilihat sebagai suatu sistem yang jalin-menjalin dan taat asas
(konsisten) dari ungkapan-ungkapan yang sifat benar-tidaknya dapat ditentukan. Filsafat
di sini sangatlah berperan penting sebagai jembatan serta wadah antara
perbedaan ilmu yang satu dengan ilmu yang lain. Hal ini senada dengan pendapat
Immanuel Kant (dalam Kunto Wibisono dkk., 1997) yang menyatakan bahwa filsafat
merupakan disiplin ilmu yang mampu menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup
pengetahuan manusia secara tepat. Oleh sebab itu Francis Bacon (dalam The Liang
Gie, 1999) menyebut filsafat sebagai ibu agung dari ilmu-ilmu (the great mother
of the sciences).
Lebih lanjut Koento Wibisono dkk.
(1997) menyatakan, karena pengetahuan ilmiah atau ilmu merupakan “a higher level of knowledge”,
maka lahirlah filsafat ilmu sebagai penerusan pengembangan filsafat
pengetahuan. Filsafat ilmu sebagai cabang filsafat menempatkan objek
sasarannya: Ilmu (Pengetahuan). Bidang garapan filsafat ilmu terutama diarahkan
pada komponen-komponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu yaitu:
ontologi, epistemologi dan aksiologi. Hal ini didukung oleh Israel Scheffler
(dalam The Liang Gie, 1999), yang berpendapat bahwa filsafat ilmu mencari
pengetahuan umum tentang ilmu atau tentang dunia sebagaimana ditunjukkan oleh
ilmu.
Interaksi antara ilmu dan filsafat
mengandung arti bahwa filsafat dewasa ini tidak dapat berkembang dengan baik
jika terpisah dari ilmu. Ilmu tidak dapat tumbuh dengan baik tanpa kritik dari
filsafat. Dengan mengutip ungkapan dari Michael Whiteman (dalam Koento Wibisono
dkk.1997), bahwa ilmu kealaman persoalannya dianggap bersifat ilmiah karena
terlibat dengan persoalan-persoalan filsafati sehingga memisahkan satu dari
yang lain tidak mungkin. Sebaliknya, banyak persoalan filsafati sekarang sangat
memerlukan landasan pengetahuan ilmiah supaya argumentasinya tidak salah.
Lebih jauh, Jujun S. Suriasumantri
(1982:22), –dengan meminjam pemikiran Will Durant– menjelaskan hubungan antara
ilmu dengan filsafat dengan mengibaratkan filsafat sebagai pasukan marinir yang
berhasil merebut pantai untuk pendaratan pasukan infanteri. Pasukan infanteri
ini adalah sebagai pengetahuan yang di antaranya adalah ilmu. Filsafatlah yang
memenangkan tempat berpijak bagi kegiatan keilmuan. Setelah itu, ilmulah yang
membelah gunung dan merambah hutan, menyempurnakan kemenangan ini menjadi
pengetahuan yang dapat diandalkan.
Perbedaan Antara Filsafat dengan Ilmu
Sebagaimana yang telah kami paparkan di
atas bahwa filsafat dan ilmu mempunyai hubungan yang sangat erat, namun keduanya
juga memiliki perbedaan. Prof. Sikun Pribadi mengemukakan perbedaan antara
filsafat dan ilmu pengetahuan, yakni; jelaslah, bahwa perbedaan antara filsafat
dan ilmu pengetahuan, ialah bahwa ilmu pengetahuan bertolak dari dunia fakta
(jadi bersifat ontis), sedangkan filsafat bertolak dari dunia nilai, artinya
selalu menghubungkan masalah dengan makna keseluruhan hidup (jadi bersifat
deontis), walaupun kedua bidang aktivitas manusia itu sifatnya kognetif.
Jadi ilmu berhubungan dengan
mempersoalkan fakta-fakta yang faktual, yang diperoleh dengan eksperimen,
observasi, dan verifikasi, hanya berhubungan sebagian dari aspek kehidupan atau
kejadian yang ad di dunia ini, sedangkan keseluruhan yang bermakna mengemukakan
perbedaan antara filsafat dan ilmu sebagai berikut :
1)
Ilmu berhubungan dengan lapangan yang terbatas, sedangkan
filsafat mencoba berhubungan dengan keseluruhan pengalaman, untuk memperoleh
suatu pandangan yang lebih komprehensif tentang sesuatu.
2)
Ilmu menggunakan pendekatan analitis dan deskriptif,
sedangkan filsafat sintetis atau sinoptis, berhubungan dengan sifat-sifat dan
kualitas alam dan hidup secara keseluruhan.
3)
Ilmu menganalisis keseluruhan menjadi bagian-bagian, dan
organis menjadi organ-organ, filsafat mencoba membedakan sesuatu dalam bentuk
sintesis yang menjelaskan dan mencari makna sesuatu secara keseluruhan.
4)
Ilmu menghilangkan factor-faktor pribadi yang subyektif,
namun filsafat tertarik kepada personalitas nilai-nilai dan semua pengalaman.
5)
Ilmu tertarik kepada hakikat sesuatu sebagaimana adanya,
sedangkan filsafat tidak hanya tertarik kepada bagian-bagian yang nyata,
melainkan juga kepada kemungkinan-kemungkinan yang ideal dari suatu benda,
nilai, dan maknanya.
6)
Ilmu meneliti alam, mengontrol proses alam sedangkan tugas
filsafat mengadakan kritik, menilai dan mengkoordinasikan tujuan.
7)
Ilmu lebih menekankan kepada deskripsi hokum-hukum fenomenal
dan hubungan kausal.
Filsafat tertarik dengan hal-hal yang
berhubungan dengan pertanyaan “why” dan “how”. Ilmu pengetahuan mencari
kebenaran dengan jalan penyeledikan, pengalaman (empiris) dan percobaan
(eksperimen) sebagai batu ujian. Ilmu bersifat pasteriori. Artinya ilmu menarik
sebuah kesimpulannya setelah melakukan pengujian-pengujian secara berulang-ulang.
Untuk kasus tertentu, ilmu bahkan menuntut untuk diadakannya percobaan dan
pendalaman untuk mendapatkan esensinya.
Sedangkan Filsafat mendekati kebenaran
dengan metode yang cukup sistemik yakni menggunakan akal budi secara radikal,
dan integral serta universal, tidak terikat oleh ikatan apapun, kecuali ikatan
tangannya sendiri yang disebut ’logika’. Filsafat bersifat apriori, yaitu
kesimpulan-kesimpulannya ditarik tanpa pengujian. Sebab filsafat tidak
mengharuskan adanya data empiris seperti dimiliki ilmu. Karena filsafat
bersifat spekulatif dan kontemplatif yang ini juga dimiliki ilmu. Kebenaran
filsafat tidak dapat dibuktikan oleh filsafat itu sendiri, tetapi hanya dapat
dibuktikan oleh teori-teori keilmuan melalui observasi dan eksperimen atau
memperoleh justifikasi kewahyuan. Dengan demikian, tidak setiap filosof dapat
disebut sebagai ilmu, sama seperti tidak semua ilmuwan disebut filosof.
Selain itu, Filsafat menyelidiki, membahas,
serta memikirkan seluruh alam kenyataan, dan menyelidiki bagaimana hubungan
kenyataan satu sama lain. Jadi filsafat memandang satu kesatuan yang belum
dipecah-pecah serta pembahasannya secara keseluruhan. Sedangkan ilmu-ilmu lain
atau ilmu vak menyelidiki hanya sebagian saja dari alam maujud ini, misalnya
ilmu hayat membicarakan tentang hewan, tumbuh-tumbuhan, dan manusia; ilmu bumi
membicarakan tentang kota, sungai, hasil bumi, dan sebagainya. Filsafat tidak
hanya menyelidiki tentang sebab akibat, tetapi menyelidiki hakikatnya
sekaligus. Sedangkan ilmu vak membahas tentang sebab dan akibat suatu
peristiwa. Dalam pembahasannya filsafat menjawab apa ia sebenarnya, dari mana
asalnya, dan hedak kemana perginya. Sedangkan ilmu vak harus menjawab
pertanyaan bagaimana dan apa sebabnya.
Ada yang mengatakan bahwa antara ilmu,
filsafat dan agama memiliki hubungan. Namun demikian, tidak menafikan terhadap
pandangan bahwa satu sama lain merupakan ‘sesuatu’ yang terpisah; di mana ilmu
lebih bersifat empiris, filsafat lebih bersifat ide dan agama
lebih bersifat keyakinan. Menurut Muhammad Iqbal dalam Recontruction
of Religious Thought in Islam sebagaimana dikutip Asif Iqbal Khan (2002),
“Agama bukan hanya usaha untuk mencapai kesempurnaan, bukan pula moralitas yang
tersentuh emosi”. Bagi Iqbal, agama dalam bentuk yang lebih modern, letaknya
lebih tinggi dibandingkan puisi. Agama bergerak dari individu ke masyarakat.
Dalam geraknya menuju pada realitas penting yang berlawanan dengan keterbatasan
manusia. Agama memperbesar klaimnya dan memegang prospek yang merupakan visi langsung
realitas. (Asif Iqbal Khan, Agama, Filsafat, Seni dalam Pemikiran Iqbal,
2002: 15)
Menurut Asif (2002: 16), sekalipun
diekspresikan dalam jargon filsafat kontemporer, tetapi mempunyai tujuan yang
sama dengan para ilmuwan Islam pada abad pertengahan yaitu menyeimbangkan agama
di satu pihak dengan ilmu pengetahuan modern dan filsafat utama sebagaimana
tertuang dalam pendahuluan buku rekonstruksinya, yaitu “untuk merekonstruksi
filsafat religious Islam sehubungan dengan tradisi filsafat Islam dan perkembangan
lebih lanjut berbagai bidang ilmu pengetahuan manusia”. Iqbal menegaskan dengan
optimis, “waktunya sudah dekat bagi agama dan ilmu pengetahuan untuk membentuk
suatu harmoni yang tidak saling mencurigai satu sama lain”.
Untuk lebih adilnya dalam menilai
hubungan ketiganya, patut dicermati pandangan Endang Saifuddin Anshari (Ilmu,
Filsafat dan Agama, 1979) yang menyebutkan di samping adanya titik persamaan,
juga adanya titik perbedaan dan titik singgung. Baik ilmu maupun filsafat atau
agama, bertujuan (sekurang-kurangnya berurusan dengan hal yang sama), yaitu
kebenaran. Ilmu pengetahuan dengan metodenya sendiri mencari
kebenaran tentang alam dan manusia. Filsafat dengan wataknya sendiri
pula menghampiri kebenaran, baik tentang alam, manusia dan Tuhan. Demikian pula
agama, dengan karakteristiknya pula memberikan jawaban atas segala
persoalan asasi yang dipertanyakan manusia tentang alam, manusia dan Tuhan.
(Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama, 1979: 169)
Masih menurutnya, baik ilmu maupun filsafat,
keduanya hasil dari sumber yang sama, yaitu ra’yu manusia (akal, budi,
rasio, reason, nous, rede, vertand, vernunft). Sedangkan agama bersumberkan
wahyu dari Allah. Ilmu pengetahuan mencari kebenaran dengan jalan penyelidikan
(riset, research), pengalaman (empirik) dan percobaan. Filsafat
menghampiri kebenaran dengan cara mengembarakan atau mengelanakan akal budi
secara radikal dan integral serta universal tidak merasa terikat
dengan ikatan apapun, kecuali oleh ikatan tangannya sendiri bernama logika.
Kebenaran ilmu pengetahuan adalah kebenaran positif (berlaku sampai
dengan saat ini), sedangkan kebenaran filsafat adalah kebenaran spekulatif
(dugaan yang tak dapat dibuktikan secara empiris, riset dan eksperimental).
Baik kebenaran ilmu maupun kebenaran filsafat bersifat nisbi (relatif),
sedangkan kebenaran agama bersifat mutlak (absolut), karena agama adalah
wahyu yang di turunkan Dzat Yang Maha Benar, Maha Mutlak dan Maha Sempurna.
Baik ilmu maupun filsafat, kedua-duanya
dimulai dengan sikap sangsi atau tidak percaya. Sedangkan agama
dimulai dengan sikap percaya dan iman. Adapun titik singgung,
adalah perkara-perkara yang mungkin tidak dapat dijawab oleh masing-masingnya,
namun bisa dijawab oleh salah satunya. Gambarannya, ada perkara yang dengan keterbatasan
ilmu pengetahuan atau spekulatifnya akal, maka keduanya tidak bisa menjawabnya.
Demikian pula dengan agama, sekalipun agama banyak menjawab berbagai persoalan,
namun ada persoalan-persoalan manusia yang tidak dapat dijawabnya. Sementara
akal budi, mungkin dapat menjawabnya.
Jadi, kesimpulannya, ketiga-tiganya
memiliki hubungan dan tidak perlu dibenturkan satu sama lain selama diyakini
bahwa ilmu manusia memiliki keterbatasan. Demikian pula dengan
filsafat, selama difahami sebagai proses berfikir bukan sebagai penentu.
Adapun agama dapat diyakini, selama dapat dibuktikan dengan dalil-dalil yang
dapat dipertangung jawabkan. Jadi, Titik singgung filsafat dan agama adalah
filsafat berusaha mendapatkan pengertian yang satu dan lengkap tentang
dunia, sedangkan Agama berusaha lebih dari itu, karena Agama berusaha
memastikan kesatuan yang seimbang antara manusia dan dunia, terutama
antara individu dan Tuhan.
ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN
Aliran filsafat pendidikan:
Progresivisme berpendapat tidak ada teori realita yang umum. Pengalaman menurut progresivisme bersifat dinamis dan temporal, menyala. tidak pernah sampai pada yang paling ekstrem, serta pluralistis. Menurut progresivisme, nilai berkembang terus karena adanya pengalaman-pengalaman baru antara individu dengan nilai yang telah disimpan dalam kebudayaan. Belajar berfungsi untuk mempertinggi taraf kehidupan sosial yang sangat kompleks. Kurikulum yang baik adalah kurikulum yang eksperimental, yaitu kurikulum yang setiap waktu dapat disesuaikan dengan kebutuhan.
Esensialisme berpendapat bahwa dunia ini dikuasai oleh tata yang tiada cela yang mengatur dunia beserta isinya dengan tiada cela pula. Esensialisme didukung oleh idealisme modern yang mempunyai pandangan yang sistematis mengenai alam semesta tempat manusia berada.
Esensialisme juga didukung oleh idealisme subjektif yang berpendapat hahwa alam semesta itu pada hakikatnya adalah jiwa/spirit dan segala sesuatu yang ada ini nyata ada dalam arti spiritual. Realisme berpendapat bahwa kualitas nilai tergantung pada apa dan bagaimana keadaannya, apabila dihayati oleh subjek tertentu, dan selanjutnya tergantung pula pada subjek tersebut.
Menurut idealisme, nilai akan menjadi kenyataan (ada) atau disadari oleh setiap orang apabila orang yang bersangkutan berusaha untuk mengetahui atau menyesuaikan diri dengan sesuatu yang menunjukkan nilai kepadanya dan orang itu mempunyai pengalaman emosional yang berupa pemahaman dan perasaan senang tak senang mengenai nilai tersehut. Menurut realisme, pengetahuan terbentuk berkat bersatunya stimulus dan tanggapan tententu menjadi satu kesatuan. Sedangkan menurut idealisme, pengetahuan timbul karena adanya hubungan antara dunia kecil dengan dunia besar. Esensialisme berpendapat bahwa pendidikan haruslah bertumpu pada nilai-nilai yang telah teruji ketangguhan, dan kekuatannya sepanjang masa.
Perenialisme berpendirian bahwa untuk mengembalikan keadaan kacau balau seperti sekarang ini, jalan yang harus ditempuh adalah kembali kepada prinsip-prinsip umum yang telah teruji. Menurut perenialisme, kenyataan yang kita hadapi adalah dunia dengan segala isinya. Perenialisme berpandangan hahwa persoalan nilai adalah persoalan spiritual, sebab hakikat manusia adalah pada jiwanya. Sesuatu dinilai indah haruslah dapat dipandang baik.
Obyek Kajian Filsafat Pendidikan
Dalam rangka menggali, menyusun, dan mengembangkan pemikiran kefilsafatan tentang pendidikan terutama pendidikan Islam, maka perlu diikuti pola dan pemikiran kefilsafatan pada umumnya.
Adapun pola dan sistem pemikiran kefilsafatan sebagai suatu ilmu adalah:
Secara makro (umum) apa yang menjadi obyek pemikiran filsafat, yaitu dalam ruang lingkup yang menjangkau permasalahan kehidupan manusia, alam semesta dan sekitarnya adalah juga obyek pemikiran filsafat pendidikan. Tetapi secara mikro (khusus) yang menjadi obyek filsafat pendidikan meliputi:
Dengan demikian dari uraian diatas diproleh suatu kesimpulan bahwa yang menjadi obyek filsafat pendidikan ialah semua aspek yang berhubungan dengan upaya manusia untuk mengerti dan memahami hakikat pendidikan itu sendiri, yang berhungan dengan bagaimana pelaksanaan pendidikan dan bagaimana tujuan pendidikan itu dapat dicapai seperti yang dicita-citakan.
Fungsi dan Tugas Filsafat Pendidikan
Sebagai ilmu, pendidikan Islam bertugas untuk memberikan penganalisaan secara mendalam dan terinci tentang problema-problema kependidikan Islam sampai kepada penyelesaiannya. Pendidikan Islam sebagai ilmu, tidak melandasi tugasnya pada teori-teori saja, akan tetapi memperhatikan juga fakta-fakta empiris atau praktis yang berlangsung dalam masyarakat sebagai bahan analisa. Oleh sebab itu, masalah pendidikan akan dapat diselasaikan bilamana didasarkan keterkaitan hubungan antara teori dan praktek, karena pendidikan akan mampu berkembang bilamana benar-benar terlibat dalam dinamika kehidupan masyarakat. Antara pendidikan dan masyarakat selalu terjadi interaksi (saling mempengaruhi) atau saling mengembangkan sehingga satu sama lain dapat mendorong perkembangan untuk memperkokoh posisi dan fungsi serta idealisasi kehidupannya. Ia memerlukan landasan ideal dan rasional yang memberikan pandangan mendasar, menyeluruh dan sistematis tentang hakikat yang ada dibalik masalah pendidikan yang dihadapi.
Dengan demikian filsafat pendidikan menyumbangkan analisanya kepada ilmu pendidikan Islam tentang hakikat masalah yang nyata dan rasional yang mengandung nilai-nilai dasar yang dijadikan landasan atau petunjuk dalam proses kependidikan.
Tugas filsafat adalah melaksanakan pemikiran rasional analisis dan teoritis (bahkan spekulatif) secara mendalam dan memdasar melalui proses pemikiran yang sistematis, logis, dan radikal (sampai keakar-akarnya), tentang problema hidup dan kehidupan manusia. Produk pemikirannya merupakan pandangan dasar yang berintikan kepada “trichotomi” (tiga kekuatan rohani pokok) yang berkembang dalam pusat kemanusiaan manusia (natropologi centra) yang meliputi:
Ketiga kemampuan tersebut berkembang dalam pola hubungan tiga arah yang kita namakan “trilogi hubungan” yaitu:
Brubacher menulis tentang fungsi filsafat pendidikan secara terperinci, dan pokok pikirannya dapat diikhtisarkan sebagai berikut :
Fungsi Spekulatif.
Filsafat pendidikan berusaha mengerti keseluruhan persoalan pendidikan dan mencoba merumuskannya dalam satu gambaran pokok sebagai pelengkap bagi data-data yang telah ada dari segi ilmiah. Filsafat pendidikan berusaha mengerti keseluruhan persoalan pendidikan dan antar hubungannya dengan faktor-faktor lain yang mempengaruhi pendidikan.
Fungsi Normatif.
Sebagai penentu arah, pedoman untuk apa pendidikan itu. Asas ini tersimpul dalam tujuan pendidikan, jenis masyarakat apa yang ideal yang akan dibina. Khususnya norma moral yang bagaimana sebaiknya yang manusia cita-citakan. Bagaimana filsafat pendidikan memberikan norma dan pertimbangan bagi kenyataan-kenyataan normatif dan kenyataan-kenyataan ilmiah, yang pada akhirnya membentuk kebudayaan.
Fungsi Kritik.
Terutama untuk memberi dasar bagi pengertian kritis rasional dalam pertimbangan dan menafsirkan data-data ilmiah. Misalnya, data pengukuran analisa evaluasi baik kepribadian maupun achievement (prestasi). Fungsi kritik bararti pula analisis dan komparatif atas sesuatu, untuk mendapat kesimpulan. Bagaimana menetapkan klasifikasi prestasi itu secara tepat dengan data-data obyektif (angka-angka, statistik). Juga untuk menetapkan asumsi atau hipotesa yang lebih resonable. Filsafat harus kompeten, mengatasi kelemahan-kelemahan yang ditemukan bidang ilmiah, melengkapinya dengan data dan argumentasi yang tak didapatkan dari data ilmiah.
Fungsi Teori Bagi Praktek.
Semua ide, konsepsi, analisa dan kesimpulan-kesimpulan filsafat pendidikan adalah berfungsi teori. Dan teori ini adalah dasar bagi pelaksanaan/praktek pendidikan. Filsafat memberikan prinsip-prinsip umum bagi suatu praktek.
Funsi Integratif.
Mengingat fungsi filsafat pendidikan sebagai asa kerohanian atau rohnya pendidikan, maka fungi integratif filsafat pendidikan adalah wajar. Artinya, sebagai pemadu fungsional semua nilai dan asas normatif dalam ilmu pendidikan.
- Filsafat pendidikan progresivisme yang didukung oleh filsafat pragmatisme.
- Filsafat pendidikan esensialisme yang didukung oleh idealisme dan realisme; dan
- Filsafat pendidikan perenialisme yang didukung oleh idealisme.
Progresivisme berpendapat tidak ada teori realita yang umum. Pengalaman menurut progresivisme bersifat dinamis dan temporal, menyala. tidak pernah sampai pada yang paling ekstrem, serta pluralistis. Menurut progresivisme, nilai berkembang terus karena adanya pengalaman-pengalaman baru antara individu dengan nilai yang telah disimpan dalam kebudayaan. Belajar berfungsi untuk mempertinggi taraf kehidupan sosial yang sangat kompleks. Kurikulum yang baik adalah kurikulum yang eksperimental, yaitu kurikulum yang setiap waktu dapat disesuaikan dengan kebutuhan.
Esensialisme berpendapat bahwa dunia ini dikuasai oleh tata yang tiada cela yang mengatur dunia beserta isinya dengan tiada cela pula. Esensialisme didukung oleh idealisme modern yang mempunyai pandangan yang sistematis mengenai alam semesta tempat manusia berada.
Esensialisme juga didukung oleh idealisme subjektif yang berpendapat hahwa alam semesta itu pada hakikatnya adalah jiwa/spirit dan segala sesuatu yang ada ini nyata ada dalam arti spiritual. Realisme berpendapat bahwa kualitas nilai tergantung pada apa dan bagaimana keadaannya, apabila dihayati oleh subjek tertentu, dan selanjutnya tergantung pula pada subjek tersebut.
Menurut idealisme, nilai akan menjadi kenyataan (ada) atau disadari oleh setiap orang apabila orang yang bersangkutan berusaha untuk mengetahui atau menyesuaikan diri dengan sesuatu yang menunjukkan nilai kepadanya dan orang itu mempunyai pengalaman emosional yang berupa pemahaman dan perasaan senang tak senang mengenai nilai tersehut. Menurut realisme, pengetahuan terbentuk berkat bersatunya stimulus dan tanggapan tententu menjadi satu kesatuan. Sedangkan menurut idealisme, pengetahuan timbul karena adanya hubungan antara dunia kecil dengan dunia besar. Esensialisme berpendapat bahwa pendidikan haruslah bertumpu pada nilai-nilai yang telah teruji ketangguhan, dan kekuatannya sepanjang masa.
Perenialisme berpendirian bahwa untuk mengembalikan keadaan kacau balau seperti sekarang ini, jalan yang harus ditempuh adalah kembali kepada prinsip-prinsip umum yang telah teruji. Menurut perenialisme, kenyataan yang kita hadapi adalah dunia dengan segala isinya. Perenialisme berpandangan hahwa persoalan nilai adalah persoalan spiritual, sebab hakikat manusia adalah pada jiwanya. Sesuatu dinilai indah haruslah dapat dipandang baik.
Obyek Kajian Filsafat Pendidikan
Dalam rangka menggali, menyusun, dan mengembangkan pemikiran kefilsafatan tentang pendidikan terutama pendidikan Islam, maka perlu diikuti pola dan pemikiran kefilsafatan pada umumnya.
Adapun pola dan sistem pemikiran kefilsafatan sebagai suatu ilmu adalah:
- Pemikiran kefilsafatan harus bersifat sistematis, dalam arti cara berfikirnya bersifat logika dan rasional tentang hakikat permasalahan yang dihadapi. Hasil pemikirannya tersusun secara sistematis artinya satu bagian dengan bagian lainnya saling berhubungan.
- Tinjauan terhadap permasalahan yang dipikirkan bersifat radikal artinya menyangkut persoalan yang mendasar sampai keakar-akarnya.
- Ruang lingkup pemikirannya bersifat universal, artinya persoalan-persoalan yang dipikirkan mencakup hal-hal yang menyeluruh dan mengandung generalisasi bagi semua jenis dan tingkat kenyataan yang ada di alam ini, termasuk kehidupan umat manusia, baik pada masa sekarang maupun masa mendatang.
- Meskipun pemikiran yang dilakukan lebih bersifat spekulatif, artinya pemikiran-pemikiran yang tidak didasari dengan pembuktian-pembuktian empiris atau eksperimental (seperti dalam ilmu alam), akan tetapi mengandung nilai-nilai obyektif. Dimaksud dengan nilai obyektif oleh permasalahannya adalah suatu realitas (kenyataan) yang ada pada obyek yang dipikirkannya.
Secara makro (umum) apa yang menjadi obyek pemikiran filsafat, yaitu dalam ruang lingkup yang menjangkau permasalahan kehidupan manusia, alam semesta dan sekitarnya adalah juga obyek pemikiran filsafat pendidikan. Tetapi secara mikro (khusus) yang menjadi obyek filsafat pendidikan meliputi:
- Merumuskan secara tegas sifat hakikat pendidikan (The Nature of Education).
- Merumuskan sifat hakikat manusia sebagai subyek dan obyek pendidikan (The Nature Of Man).
- Merumuskan secara tegas hubungan antara filsafat, filsafat pendidikan, agama dan kebudayaan.
- Merumuskan hubungan antara filsafat, filsafat pendidikan dan teori pendidikan.
- Merumuskan hubungan antara filsafat negara (ideologi), filsafat pendidikan dan politik pendidikan (sistem pendidikan).
- Merumuskan sistem nilai norma atau isi moral pendidikan yang merupakan tujuan pendidikan.
Dengan demikian dari uraian diatas diproleh suatu kesimpulan bahwa yang menjadi obyek filsafat pendidikan ialah semua aspek yang berhubungan dengan upaya manusia untuk mengerti dan memahami hakikat pendidikan itu sendiri, yang berhungan dengan bagaimana pelaksanaan pendidikan dan bagaimana tujuan pendidikan itu dapat dicapai seperti yang dicita-citakan.
Fungsi dan Tugas Filsafat Pendidikan
Sebagai ilmu, pendidikan Islam bertugas untuk memberikan penganalisaan secara mendalam dan terinci tentang problema-problema kependidikan Islam sampai kepada penyelesaiannya. Pendidikan Islam sebagai ilmu, tidak melandasi tugasnya pada teori-teori saja, akan tetapi memperhatikan juga fakta-fakta empiris atau praktis yang berlangsung dalam masyarakat sebagai bahan analisa. Oleh sebab itu, masalah pendidikan akan dapat diselasaikan bilamana didasarkan keterkaitan hubungan antara teori dan praktek, karena pendidikan akan mampu berkembang bilamana benar-benar terlibat dalam dinamika kehidupan masyarakat. Antara pendidikan dan masyarakat selalu terjadi interaksi (saling mempengaruhi) atau saling mengembangkan sehingga satu sama lain dapat mendorong perkembangan untuk memperkokoh posisi dan fungsi serta idealisasi kehidupannya. Ia memerlukan landasan ideal dan rasional yang memberikan pandangan mendasar, menyeluruh dan sistematis tentang hakikat yang ada dibalik masalah pendidikan yang dihadapi.
Dengan demikian filsafat pendidikan menyumbangkan analisanya kepada ilmu pendidikan Islam tentang hakikat masalah yang nyata dan rasional yang mengandung nilai-nilai dasar yang dijadikan landasan atau petunjuk dalam proses kependidikan.
Tugas filsafat adalah melaksanakan pemikiran rasional analisis dan teoritis (bahkan spekulatif) secara mendalam dan memdasar melalui proses pemikiran yang sistematis, logis, dan radikal (sampai keakar-akarnya), tentang problema hidup dan kehidupan manusia. Produk pemikirannya merupakan pandangan dasar yang berintikan kepada “trichotomi” (tiga kekuatan rohani pokok) yang berkembang dalam pusat kemanusiaan manusia (natropologi centra) yang meliputi:
- Induvidualisme
- Sosialitas
- Moralitas
Ketiga kemampuan tersebut berkembang dalam pola hubungan tiga arah yang kita namakan “trilogi hubungan” yaitu:
- Hubungan dengan Tuhan, karena ia sebagai makhluk ciptaan-Nya.
- Hubungan dengan masyarakat karena ia sebagai masyarakat.
- Hubungan dengan alam sekitar karena ia makhluk Allah yang harus mengelola, mengatur, memanfaatkan kekayaan alam sekitar yang terdapat diatas, di bawah dan di dalam perut bumi ini.
Brubacher menulis tentang fungsi filsafat pendidikan secara terperinci, dan pokok pikirannya dapat diikhtisarkan sebagai berikut :
Fungsi Spekulatif.
Filsafat pendidikan berusaha mengerti keseluruhan persoalan pendidikan dan mencoba merumuskannya dalam satu gambaran pokok sebagai pelengkap bagi data-data yang telah ada dari segi ilmiah. Filsafat pendidikan berusaha mengerti keseluruhan persoalan pendidikan dan antar hubungannya dengan faktor-faktor lain yang mempengaruhi pendidikan.
Fungsi Normatif.
Sebagai penentu arah, pedoman untuk apa pendidikan itu. Asas ini tersimpul dalam tujuan pendidikan, jenis masyarakat apa yang ideal yang akan dibina. Khususnya norma moral yang bagaimana sebaiknya yang manusia cita-citakan. Bagaimana filsafat pendidikan memberikan norma dan pertimbangan bagi kenyataan-kenyataan normatif dan kenyataan-kenyataan ilmiah, yang pada akhirnya membentuk kebudayaan.
Fungsi Kritik.
Terutama untuk memberi dasar bagi pengertian kritis rasional dalam pertimbangan dan menafsirkan data-data ilmiah. Misalnya, data pengukuran analisa evaluasi baik kepribadian maupun achievement (prestasi). Fungsi kritik bararti pula analisis dan komparatif atas sesuatu, untuk mendapat kesimpulan. Bagaimana menetapkan klasifikasi prestasi itu secara tepat dengan data-data obyektif (angka-angka, statistik). Juga untuk menetapkan asumsi atau hipotesa yang lebih resonable. Filsafat harus kompeten, mengatasi kelemahan-kelemahan yang ditemukan bidang ilmiah, melengkapinya dengan data dan argumentasi yang tak didapatkan dari data ilmiah.
Fungsi Teori Bagi Praktek.
Semua ide, konsepsi, analisa dan kesimpulan-kesimpulan filsafat pendidikan adalah berfungsi teori. Dan teori ini adalah dasar bagi pelaksanaan/praktek pendidikan. Filsafat memberikan prinsip-prinsip umum bagi suatu praktek.
Funsi Integratif.
Mengingat fungsi filsafat pendidikan sebagai asa kerohanian atau rohnya pendidikan, maka fungi integratif filsafat pendidikan adalah wajar. Artinya, sebagai pemadu fungsional semua nilai dan asas normatif dalam ilmu pendidikan.
ILMU....
Ilmu
Ilmu adalah sebagian pengetahuan
bersifat koheren, empiris, sistematis, dapat diukur, dan dibuktikan. Berbeda
dengan iman, yaitu pengetahuan didasarkan atas keyakinan kepada yang gaib dan
penghayatan serta pengalaman pribadi. Berbeda dengan pengetahuan, ilmu tidak
pernah mengartikan kepingan pengetahuan satu putusan tersendiri, sebaliknya
ilmu menandakan seluruh kesatuan ide yang mengacu ke obyek yang sama dan saling
berkaitan secara logis. Karena itu, koherensi sistematik adalah hakikat ilmu.
Prinsip-prinsip obyek dan hubungan-hubungannya yang tercermin dalam
kaitan-kaiatan logis yang dapat dilihat dengan jelas. Bahwa prinsip-prinsip
logis yang dapat dilihat dengan jelas.
Bahwa prinsip-prinsip metafisis obyek
menyingkapkan dirinya sendiri kepada kita dalam prosedur ilmu secara lamban,
didasarkan pada sifat khusus intelek kita yang tidak dapat dicarikan oleh visi
ruhani terhadap realitas tetapi oleh berpikir. Ilmu tidak memerlukan kepastian
lengkap berkenaan dengan masing-masing penalaran perorangan, sebab ilmu dapat
memuat di dalamnya dirinya sendiri hipotesis-hipotesis dan teori-teori yang
belum sepenuhnya dimantapan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
Edisi Ketiga, terbitan Balai Pustaka, Jakarta, 2001, ilmu artinya adalah
pengetahuan atau kepandaian. Dari penjelasan dan beberapa contohnya, maka yang
dimaksud pengetahuan atau kepandaian tersebut tidak saja berkenaan dengan
masalah keadaan alam, tapi juga termasuk “kebatinan” dan persoalan-persoalan
lainnya. Sebagaimana yang sudah kita kenal mengenai beberapa macam nama ilmu,
maka tampak dengan jelas bahwa cakupan ilmu sangatlah luas, misalnya ilmu ukur,
ilmu bumi, ilmu dagang, ilmu hitung, ilmu silat, ilmu tauhid, ilmu mantek, ilmu
batin (kebatinan), ilmu hitam, dan sebagainya.
Sebagai ilustrasi dikisahkan,
bertanyalah seorang kawan kepada ahli filsafat yang arif dan bijaksana,
“Bagaimana caranya agar saya mendapatkan pengetahuan yang benar? “Mudah saja”,
jawab filosof itu, “Ketahuilah apa yang kau tahu dan ketahuilah apa yang kau
tidak tahu”. Dari ilustrasi ini dapat digambarkan bahwa pengetahuan dimulai
dengan rasa ingin tahu dan merupakan hasil proses dari usaha manusia. Beranjak
dari pada pengetahuan adalah kebenaran, dan kebenaran adalah pengetahuan, maka
di dalam kehidupannya manusia dapat memiliki berbagai pengetahuan dan
kebenaran. Sedang ilmu pengetahuan sendiri mempunyai pengertian sebagai hasil
usaha pemahaman manusia yang disusun dalam satu sistematika mengenai kenyataan,
struktur, pembagian, bagian-bagian dan hukum-hukum tentang hal ikhwal yang
diselidiinya (alam, manusia, dan juga agama) sejauh yang dapat dijangkau daya
pemikiran manusia yang dibantu penginderaannya, yang kebenarannya diuji secara
empiris, riset dan experimental.
Langganan:
Postingan (Atom)